Monday 3 December 2018
Wednesday 26 September 2018
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
PELAKSANAAN
PUTUSAN PENGADILAN
Dosen Pengampu :Adiyono,
S.H.I., M.H.I.
Oleh
:
Saiful
Ihwan (150711100003)
Rudi Hartono (150711100003)
Syamsiyah (150711100003)
PROGRAM
STUDI HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
alhamdulillah kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tetap
terhaturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita
dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang (addinul islam).
Karena atas rahmat dan hidayah Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang berjudul “Pelaksanaan Putusan Pengadilan”
dan dalam penyusunan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran sehingga dapat memperbaiki
kekurangan yang ada dalam makalah ini.
Akhirnya, semoga
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi para mahasiswa dan para pembaca
pada umumnya.
Bangkalan, 08 Setember2017
Penulis
A.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan
Masalah.................................................................................. 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Subyek dan obyek PPN........................................................................
B. PPnBM.................................................................................................
C. Badan pemungut dan cara Menghitung PPN, PPnBM..........................
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
..................................................................................... 14
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA .................................................................................. 17
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang
Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala
hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan
Hakim. Hal ini dapat tercapai jika putusan Hakim dapat dilaksanakan.
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan
oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu Negara, merupakan aturan
dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu
eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan
proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau
Rbg. Bagi setiaporang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi,harus
merujuk ke dalam aturan perundang-undangan yang diatur dalam HIR atau Rbg.
Di dalam membicarakan pengertian eksekusi, akan
dicoba menjelaskan beberapa hal yang erat kaitannya dengan pemahaman pengertian
eksekusi itu sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
1. Seperti
apakah yang dimaksud dengan Eksekusi?
2. Apa
saja jenis-jenis Eksekusi?
3. Apa
saja prinsip-prinsip Ekskusi?
4. Bagaimana
Prosedur dan mekanisme eksekusi di pengadilan
agama?
5. Apa Saja Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
putusan peradilan agama terutama dalam perkara perceraian dan perkawinan?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan
Eksekusi.
2. Untuk
mengetahui jenis-jenis Eksekusi.
3. Untuk
mengetahui prinsip-prinsip Ekskusi.
4. Untuk
mengetahui Prosedur dan mekanisme eksekusi di pengadilan
agama.
5. Untuk
mengetahui Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan putusan
peradilan agama terutama dalam perkara perceraian dan perkawinan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Eksekusi
Secara etimologi eksekusi berasal dari
bahasa Belanda yang berarti menjalankan putusan hakim atau pelaksanaan putusan
hakim atau pelaksanaan putusan (tenuivtvor
leggin van vanissen) secara terminologi eksekusi adalah melakukan putusan
(vonis) pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[1]
Eksekusi menurut M. Yahya H. Adalah
tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam
suatu perkara, merupakan tata aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan
yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.[2]
Menurut Prof. R. Subekti adalah pelaksanaan suatu
putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, diataati secara sukarela oleh
pihak yang bersengeketa. Jadi makna dalam perkataan, eksekusi sudah mengandung
arti pihak yang kalah mau tidak mau harus menaati putusan itu secara sukarela,
sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.
Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah poilisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).
Pengertian Eksekusi adalah merupakan
pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang
kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan.
Dalam Pasal 195 HIR/Pasal 207 RBG dikatakan: Hal menjalankan Putusan Pengadilan
Negeri dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri
adalah atas perintah dan tugas Pimpinan ketua Pengadilan negeri yang pada
tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam
pasal-pasal HIR. Selanjutnya dalam Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBG dikatakan: Jika
pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi amar Putusan
Pengadilan dengan damai maka pihak yang menang dalam perkara mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjalankan Putusan Pengadilan
itu. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah dalam hukum
serta melakukan teguran (aanmaning) agar pihak yang kalah dalam perkara
memenuhi amar putusan pengadilan dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari.
Dengan demikian, pengertian eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan
Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang
kalah dalam perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya[3].
Eksekusi dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila terlebih dahulu
ada permohonan dari pihak yang menang dalam perkara kepada Ketua Pengadilan
Negeri agar Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebelum menjalankan eksekusi Putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka Ketua Pengadilan
Negeri melakukan teguran (aanmaning) kepada pihak yang kalah dalam
perkara agardalam waktu 8 (delapan) hari sesudah Ketua Pengadilan Negeri
melakukan teguran (aanmaning) maka pihak yang kalah dalam perkara harus
mematuhi Amar Putusan Pengadilan dan apabila telah lewat 8 (delapan) hari
ternyata pihak yang kalah dalam perkara tidak mau melaksanakan Putusan
Pengadilan tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintah
Panitera/Jurusita Pengadilan Negeri untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek
tanah terperkara dan kemudian dapat meminta bantuan alat-alat negara/kepolisian
untuk membantu pengamanan dalam hal pengosongan yang dilakukan atas objek tanah
terperkara.
B.
Jenis-jenis
Eksekusi
a. Dengan Sukarela.
Artinya pihak yang dikalahkan
melaksanakan sendiri putusan Pengadilan tanpa ada paksaan dari pihak lain
b. Dengan Paksaan.
Yaitu menjalankan putusan
Pengadilan, yang merupakan suatu tindakan hukum dan dilakukan
secara paksa terhadap pihak yang kalah disebabkan ia tidak mau menjalankan
putusan secara suka rela.
Pada dasarnya ada 2 bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai
oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan
suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut
eksekusi riil, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi seperti ini
selalu disebut eksekusi pembayaran uang [4].
Demikian juga dalam praktek peradilan agama dikenal 2 macam eksekusi, yaitu
eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal
218 ayat (2) R.Bg, dan Pasal 1033 Rv, yang meliputi penyerahan pengosongan,
pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu. Dan eksekusi pembayaran
sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 200 HIR/Pasal 215 R.Bg[7]).
a. Eksekusi Riil.
Eksekusi riil adalah eksekusi yang
menghukum kepada pihak yang kalah dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu, misalnya menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan,
membongkar, menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu.
Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai
dengan amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.
b. Eksekusi Pembayaran Sejumlah
Uang.
Eksekusi pembayaran sejumlah uang
adalah eksekusi yang mengharuskan kepada pihak yang kalah untuk melakukan
pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR/208 R.Bg). Eksekusi ini adalah
kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk kedua ini tidaklah
dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan
C.
Prinsip Eksekusi
1. Putusan hakim yang akan di eksekusi
haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti
antara para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak
ada lagi upaya hukum (Rachtsmiddel), yakni: 3
a.
Putusan
pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding;
b.
Putusan
Makamah Agung (kasasi/PK).
c.
Putusan
verstek yang tidak diajukan verzet.
Sebagai pengecualian dari asas di
atas adalah:
a.
Putusan
serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad).
b.
Putusan
provisi.
c.
Putusan
perdamaian.
d.
Grose
akta hipotik/pengakuan hutang.
2. Putusan hakim yang akan
dieksekusi haruslah bersifat menghukum (condemnatoir). Maksudnya, pada
putusan yang bersifat menghukum adalah terwujud dari adanya perkara yang
berbentuk yurisdictio contentiosa (bukan yurisdictio
voluntaria), dengan bercirikan, bahwa perkara bersifat sengketa (bersifat
partai) dimana ada pengugat dan ada tergugat, proses pemeriksaannya secara
berlawanan antara penggugat dan tergugat (Contradictoir). Misalnya amar
putusan yang berbunyi :
a. Menghukum atau memerintahkan
menyerahkan sesuatu barang.
b. Menghukum atau memerintahkan pengosongan
sebidang tanah atau rumah.
c. Menghukum atau memerintahkan
melakukan suatu perbuatan tertentu.
d. Menghukum atau memerintahkan penghentian
suatu perbuatan atau keadaan.
3. Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela. Maksudnya,
bahwa tergugat sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak
bersedia melaksanakan amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat
bersedia melaksanakan amar putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya
tindakan eksekusi sudah tidak diperlukan lagi.
4. Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat
pertama Pasal 195 Ayat (1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg. Maksudnya, bahwa
pengadilan tingkat banding dengan Mahkamah Agung tidaklah mempunyai kewenangan
untuk itu, sekaligus terhadap putusannya sendiri, sehingga kewenangan tersebut
berada pada ketua pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama/pengadilan
negeri) yang bersangkutan dari sejak awal hingga akhir (dari aanmaning hingga
penyerahan barang kepada penggugat).
5. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan. Maksudnya,
apa yang dibunyikan oleh amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi tidak
boleh menyimpang dari amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi
diantaranya ditentukan pula oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang
didasari pertimbangan hukum sebagai argumentasi hakim.
D.
Prosedur Dan Mekanisme Eksekusi Di Pengadilan
Agama
E.
Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Putusan
Peradilan Agama Terutama Dalam Perkara Perceraian Dan Perkawinan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Peradilan
Agama Pasca UU Perkawinan 1974
Pada
tahun 1974 diundangkan UU Perkawinan. Setelah Melalui perjuangan dan perdebatan
panjang, akhirnya RUU Perkawinan dapat dilakukan perubahan-perubahan yang
sangat mendasar dan tidak lagi bertentangan dengan hukum syariah Islam.
Akhirnya pada 2 januari 1974 RUU Perkawinan tersebut disahkan dan diundangkan
oleh presiden Menjadi UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan
diundangkannnya UU perkawinan ini berarti hukum Islam dan lembaga-lembaga hukum Islam di bidang perkawinan menjadi
hukum positif yang berlaku bagi umat Islam. Mengenai kompetensi peradilan Agama
diatur dalam Pasal 63 ayat (1) UU. No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa:
a. Pengadilan
agama bagi mereka beragama islam dan,
b. Pengadilan
umum bagi lainnya.
UU
ini mulai berlaku efektif terhitung mulai tanggal 1 Oktober 1975. Dengan
berlakunya UU Perkawinan tersebut, maka
kompetensi Peradilan Agama dibidang perkawinan
dipulihkan kembali dan hal ini
merupakan titik awal pemulihan kembali kompetensi
peradilan agama dimasa-masa selanjutnya.
2. Peradilan
Agama Pasca UU Mahkamah Agung 1985
Pada
Tahun 1985 diundangkan UU No. 14 Tahun 1985 tanggal 30 Desember1985 tentang
Mahkamah Agung. Dengan UU ini, maka secara yuridis Mahkamah Agung juga
merupakan Pengadilan Negara Tinggi, baik untuk mengadili sengketa pengadilan
Agama maupun pengadilan agama lain yang berada dalam daerah hukum Pengadilan
Tinggi Agama yang berbeda.
Pada tahun 1987 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No.
2 Tahun 1987 tanggal Oktober 1987 tentang Wali Nikah. PMA ini memperteguh
kedudukan peradilan Agama karena didalamnya, yaitu pada pasal 3 terdapat
pelimpahan kewenangan untuk menetapkan adhalnya wali. Hal ini menambah luas kewenangan di
Indonesia.
3. Pro
dan kontra RUU Peradilan Agama
Sejak dibahas di DPR-RI, RUU-PA ini telah
menarik perhatian masyarakat luas dan menimbulkan kontroversi.Franz Magnis
menentang keras RUU-PA tersebut. S. Wijoyo dan P. J. Suwarno memberikan
tanggapan yang senada.Dia mempertanyakan kehadiran RUU-PA yang dinilainya bertentangan
dengan hak asasi manusia, seperti dengan hak pindah agama, perkawinan beda
agama, warisan anak yang tidak beragama Islam dari orang tuanya yang beragama
Islam. Mengapa tidak memakai hukum adat saja sebagai alternatif. Sementara itu
di pihak lain banyak yang mendukung RUU-PA tersebut, terutama dari kalangan
umat Islam yang secara relegius
konstitusional membutuhkan adanya Peradilan Agama guna memenuhi
perkembangan kebutuhan hukum mereka. Heru Susanto memberikan tanggapan (Pelita,
27 Juni 1989) atas pendapat Franz Magniz Suseno dengan menilai bahwa Franz
Magniz trauma berlebihan atas masa lalunya dengan menyembunyikan kecurigaan.
Franz Magniz tidak melihat bahwa yang namanya agama dalam Islam bukan hanya
masalah ibadah saja, tetapi juga hukum-hukum keluarga dan hukum waris. Semua
itu dijamin oleh pemerintah.H.M Rasyidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama,
memberikan tanggapan juga atas pro dan kontra RUU Peradilan Agama terutama
menanggapi pendapat Franz Magnis Suseno.
Namun demikian, pandangan Franz Magniz
tersebut di tahun 2006 telah berubah. Ahmad Gunaryo menuturkan bahwa Franz
Magniz mengemukakan bahwa dirinya mencabut seluruh keterangannya yang pernah
diberikan atau dipublikasikan menyangkut Peradilan Agama. Dalam kata-katanya
sendiri dia mengubah pandangan lamanya dengan pandangan baru dengan menyatakan
bahwa:
Saya mencabut seluruh pendapat saya yang
menyangkut Peradilan Agama. Saya menyadari kebodohan saya saat itu. Bagi saya
kalau memang suatu umat membutuhkan akan keberlakuan hukum agamanya untuk
dirinya sendiri, mengapa tidak.
Setelah melaui perjuangan panjang dan
perdebatan yang alot, akhirnya upaya untuk memiliki UU-PA tersebut mendapat
jalan lapang pada tahun 1989.
4. Kedudukan
PA dalam UU No. 7/1989
Dengan diundangkannya UU, maka Peradilan Agama
telah mengalami banyak kemajuan yang dicapai, antara lain:
a. Terciptanya penyederhanaan dan penyatuan dasar
hukum Peradilan Agama.
b. Terciptanya Kedudukan hukum Peradilan Agama
yang sederajat dengan Peradilan Umum.
c. Terciptanya penyatuan penyebutan pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama, yakni Pengadilan Agama sebagai pengadilan
tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding.
5. Kelemahan-kelemahan
PA dalam UU 7/1989
Secara
teoritis, setiap UU sebagai hukum positif seharusnya memiliki sifat-sifat
sempurna sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu : (1) Comprehensive(2) All-inclusive(3) Sistematic.
Namun setelah dikaji ulang, UU PA tersebut pada kenyataannya juga masih
terdapat beberapa kelemahan-kelemahan atau kekurangan, antara lain;
a. Bidang
kedudukan protokol hakim ternyata belum sepenuhnya sejajar dengan badan
peradilan lainnya dan dengan lembaga negara yang lain yang setingkat.
b. Bidang
susunan organisasi Peradilan Agama yang ternyata belum memenuhi kebutuhan guna
mendukung tugas pokok dan fungsi Pengadilan sebagai sebuah instansi.
c. Bidang
kompetensi pengadilan agama yang ternyata belum menjangkau seluruh bidang hukum
syariah Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Arto, Mukti. 2012. Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia (Kajian Historis, Filosofis, Ideologis, Yuridis, Futuristis, dan Pragmatis).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[1] Mardani,
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariah, (Jakarta: Sinar
Grafika) 2010, hlm. 142
[2] M. Yahya
Harahap, S.H., Ruang Lingkup Permasalahan
Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : PT Gramadia, 1991), hlm.1
[3]
M. Yahya Harahap, SH – Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1991, Hal. 5.
[4] M. Yahya Harahap, 1988: 20
[5] M. Yahya Harahap, SH – Ruang
Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1991, Hal. 13
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
PERADILAN
AGAMA DI INDONESIA
Makalah Ini
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Ekonomi Islam
Dosen Pengampu :Ach.
Mus’if, S.HI, M.A
Di Susun Oleh :
Kelompok 5
1. Saiful
ihwan (150711100003)
2. Ainul
Yaqin (150711100024)
3. Ana
Lailatur R (150711100012)
HUKUM BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
2017
KATA
PENGANTAR
Maha
Besar Allah yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk hidup yang terbaik
di muka bumi ini.Manusia berkewajiban untuk berbuat sesuatu yang bermakna
sesuai dengan kedudukannya yang terhormat itu, agar kehidupannya tidak menjadi
sia-sia.Makalah ini merupakan bagian dari keikutsertaan penulis dalam
membarikan makna bagi kehidupan dalam rangka mewujudkan firman Allah SWT
tersebut.
Dalam mengawali penulisan makalah ini Dengan
Judul “Peradilan
Agama Di Indonesia”, penulis panjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT atas limpahan nikmat,karunia, dan perlindungan-Nya selama penulisan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa
uraian di dalam makalah ini bukanlah sesuatu yang sempurna,dan penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini ada kekurangan dan kekeliruan,oleh
sebab itu penulis sangat mengharapkan pembaca untuk menyampaikan suatu kritik
ataupun saran yang akan membuat makalah ini menjadi hal yang dapat di minati
oleh pembaca.
Untuk itu penulis berdo’a kehadirat Allah SWT , semoga
makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat untuk semua kalangan, khususnya
untuk mahasiswa Hukum Bisnis Syari’ah.
Bangkalan, 28 September 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang........................................................................................ .3
B. Rumusan
Masalah................................................................................... .3
C. Tujuan
Makalah...................................................................................... .3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Kewenangan Peradilan Agama di
Indonesia ................. 4
B.
Fungsi Peradilan Agama di Indonesia .............................................. 11
C. Ruang Lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Islam............................................................................................................ 12
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan....................................................................................... 17
B.
Saran.................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Peradilan agama merupakan pranata sosioal hukum Islam.
Keberadaannya telah ada jauh sebelum Negara Republik Indonesia merdeka. Meski
dalam bentuk yang sangat sederhana dan penamaan yang berbeda-beda, namun
eksistensinya tetap dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia. Hal ini karena
peradilan agama tidak hanya menjadi jalan terakhir dalam penyelesaian suatu
sengketa hususnya dalam sengketa Ekonomi yang terjadi pada masyarakat muslim,
namun sekaligus juga sebagai penjaga eksistensi dan keberlangsungan pelaksanaan
hukum Islam di Indonesia.
Meskipun secara normatif keberadaannya merupakan
sebuah keharusan dalam komunitas masyarakat muslim Indonesia, akan tetapi
mengingat Indonesia bukan merupakan negara Islam, maka keberadaannya tidak dapat
dilepaskan dengan paradigma sistem dan dinamika hukum yang terjadi serta
berkembang di negara hukum Indonesia.
Dalam
makalah ini akan dibahas lebih rincimengenai Kedudukan
Peradilan Agama di Indonesia, Fungsi Peradilan Agama di Indonesia ,
Kewenangan Peradilan Agama di Indonesiadan Ruang Lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara
Ekonomi Islam
B. Rumusan
Msalah
1.
Bagaimana Kedudukan, Kewenangan
Peradilan Agama di Indonesia ?
2.
Apa saja Fungsi
Peradilan Agama di Indonesia ?
3.
Apa saja Ruang Lingkup
kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Islam ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
kedudukan, Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia .
2.
Untuk mengetahui Fungsi
Peradilan Agama di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui Ruang
Lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Islam .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan, Wewenang Peradilan Agama di Indonesia
a.
Kedudukan
Peradilan agama dalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan
agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan, yaitu peradilan syariat islam di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Peradilan agama terdiri atas:
a.
Pengadilan
Agama (PA) sebagai pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di ibukota
madya/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota, tetapi tidak
menutup kemungkinanadanya pengecualian.
b.
Penggadilan
Tinggi Agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di
ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi[1].
Mahkamah Agung (MA) merupakan pengadilan negar tertinggi dari
keempat lingkungan peradilan, yaitu peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha Negara. MA merupakan peradilan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negeri RI, yaitu di Jakarta. Mahkamah
Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang ada di bawahnya.
Dengan berlakunya prinsip satu atap, organisasi, adsmintarasi, dan
finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang telah berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung, termasuk di dalamnya pengawasan dan pembinaan teknis.
Akan tetapi, pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.
Pengalihan peradilan agama dari Dapertemen Agama ke MA pada tanggal
30 juni 2004, sebagaimana ketentuan pasal 42 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman jo. Keppres No. 21 tahun 2004 tentang pengalihan
oraganisasi, adsmitrasi, dan finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung dan pasal 5 UU No.3
Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama.
Tujuan pembinaaan satu atap peradilan adlah agar kekuasaan
kehakiman dapat diselenggarakan dengan merdeka, mandiri, bertanggung jawab
tidak terpengaruh oleh pihak eksekutif dan/atau pihak lainnya, dan pembinaan
peradilan menjadi lebih baik, terpadu, dan berada dalam satu komando [2].
b.
Wewenang
Wewenang pengadilan agama berdasarkan berdasarkan pasal 49
Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun
1989 tentang peradilan agama adalah:
A.
Perkawinan
Dalam perkawinan wewenang Pengadilan
Agama diatur dala atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang
berlakuyang dilakukan menurut syariah, antara lain:
1.
Izin beristri
lebih dari satu orang;
2.
Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang
tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3.
Dispensasi
kawin;
4.
Pencegahan
perkawinan;
5.
Penolakan
perkawinan oleh pegawai pencatatan nikah;
6.
Pembatalan
perkawinan;
7.
Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami istri;
8.
Perceraian
karena talak;
9.
Gugatan
perceraian;
10.
Penyelesaian
harta bersama;
11.
Ibu dapat
memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidsk memnuhinya;
12.
Penguasaan
anak-anak;
13.
Penentuan
kewajibna pemberi biaya kehidupan oleh suami kepada bekas istri;
14.
Putusan tentang
sah tidaknya seorang anak
15.
Putusan tentang
pencabutan kekuasaan orang tua;
16.
Pencabutan
kekuasaan wali;
17.
Penunjukan
orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam kekuasaan seorang wali dicabut;
18.
Penunjukan
seorang wali dalam hal anak belum cukup 18 (delapan belas tahun) yang ditinggal
kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19.
Pembebanan
kewajiban ganti kerugian atas harta
benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20.
Penetapan asal
usul seorang anak dan pendapatan pengangkatan anak berdasarkan hhukum islam;
21.
Putusan tentang
hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur; dan
22.
Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi seelum Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
B.
Waris
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan
Agama disebutkan berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama adalah sebagai berikut :
1.
Penentuan
siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
2.
Penentuan
mengenai harta peninggalan;
3.
Penentuan
bagian masing-masing ahli waris;
4.
Melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut;
5.
Penetapan
Pengadilan atas permohonan seseorang tentang
Penentuan siapa
yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian-bagiannya.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergun
akan dalam pembagian warisan”. Kini, dengan adanya amandemen
terhadap Undang-Undang tersebut, kalimat itu dinyatakan dihapus. Dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan berdasarkan hukum Islam, maka
penyelesaiannya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Selanjutnya dikemukakan
pula mengenai keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh wilayah
nusantara yang selama ini berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar
hukumnya.
Selain dari itu, berdasarkan
pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan
Agama juga diberi tugas dan wewenang untuk menyelesaikan permohonan pembagian
harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang agama yang beragama Islam
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
C.
Wasiat
Mengenai wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Peradilan
Agama dijelaskan bahwa definisi wasiat adalah: “Perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang
memberi tersebut meninggal dunia.” Namun, Undang-Undang tersebut tidak mengatur
lebih jauh tentang wasiat. Ketentuan lebih detail diatur dalam Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI,
wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.
Ketentuan mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat
orang membuat wasiat, harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai berlaku,
di mana wasiat dilakukan, seberapa banyak maksimal wasiat dapat diberikan,
bagaimana kedudukan wasiat kepada ahli waris, dalam wasiat harus disebut dengan
jelas siapa yang akan menerima harta benda wasiat, kapan wasiat batal, wasiat
mengenai hasil investasi, pencabutan wasiat, bagaimana jika harta wasiat
menyusut, wasiat melebihi sepertiga sedang ahli waris tidak setuju, di mana
surat wasiat disimpan, bagaimana jika wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat
meninggal dunia, wasiat dalam kondisi perang, wasiat dalam perjalanan, kepada siapa
tidak diperbolehkan wasiat, bagi siapa wasiat tidak berlaku, wasiat wajibah
bagi orang tua angkat dan besarnya, dan wasiat wajibah bagi anak angkat serta
besarnya.
D.
Hibah
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi
tentang hibah sebagai: “pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan
dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk
dimiliki.”
Hibah juga tidak diregulasi
secara rinci dalam Undang-Undang a quo. Ia secara garis besar diatur dalam KHI, dengan
menempati bab VI, dan hanya diatur dalam lima pasal. Secara garis besar
pasal-pasal ini berisi: Subjek hukum hibah, besarnya hibah, di mana hibah
dilakukan, harta benda yang dihibahkan, hibah orang tua kepada anak, kapan
hibah harus mendapat persetujuan ahli waris, dan hibah yang dilakukan di luar
wilayah Republik Indonesia.
E.
Wakaf
Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dimaknai
sebagai: “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.” Tentang wakaf ini tidak
dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih luas tercantum dalam KHI, Buku III, Bab I hingga
Bab V, yang mencakup 14 pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur: Ketentuan umum,
yaitu definisi wakaf, wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf; fungsi wakaf; subjek hukum yang dapat mewakafkan harta bendanya;
syarat benda wakaf; prosedur mewakafkan; syarat-syarat nadzir; kewajiban dan
hak-hak nadzir; pendaftaran benda wakaf; perubahan, penyelesaian danpengawasan
benda wakaf. Khusus mengenai perwakafan tanah milik, KHI tidak mengaturnya. Ia
telah diregulasi empat tahun sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun
1977, lembaran negara No. 38 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
F.
Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau
badan hukum yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. KHI tidak menyinggung
pengaturan zakat.
Regulasi mengenai zakat
telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Lembaran Negara
Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis besar, isi
Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk campur tangan dalam bidang
zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki,
mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan zakat; organisasi pengelolaan
zakat; pengumpulan zakat; pendayagunaan zakat; pengawasan pengelolaan zakat;
dan sanksi terhadap pelanggaran regulasi pengelolaan zakat.
G.
Infaq
Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan
dengan: “perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi
kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi
(karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlash,
dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
Kewenangan Pengadilan Agama
ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini juga tak diatur lebih lanjut.
H.
Shadaqah
Mengenai shadaqah diartikan sebagai: “Perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan
dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap
ridha Allah dan pahala semata.”
Sama seperti infaq, shadaqah juga tidak diatur dalam regulasi
khusus. Dan hingga kini belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya.
I.
Ekonomi Syariah
Ekonomi syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah.”
Kewenangan itu antara lain:
1.
Bank Syari’ah;
2.
Lembaga
Keuangan Mikro Syari’ah;
3.
Asuransi
Syari’ah;
4.
Reasuransi
Syari’ah;
5.
Reksadana
Syari’ah;
6.
Obligasi
Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah;
7.
Sekuritas
Syari’ah;
8.
Pembiayaan
Syari’ah;
9.
Pegadaian
Syari’ah;
10.
Dana Pensiun
Lembaga Keuangan Syari’ah; dan
11.
Bisnis Syari’ah[3].
B.
Fungsi Peradilan Agama di Indonesia
Adapun fungsi Peradilan Agama di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Fungsi
mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam
tingkat pertama (Pasal 49 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006).
2.
Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada
pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis
yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan,
keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor
No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
3.
Fungsi
pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/
Jurusita Pengganti di bawah jajarannya
agar peradilan diselenggarakan dengan
seksama dan sewajarnya (Pasal 53 ayat
(1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan
administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
4.
Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan
dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya,
apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).
5.
Fungsi
administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan
persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan
umum/perlengakapan) (KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
6.
Fungsi Lainnya :
a.
Melakukan
koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang
terkait, seperti KEMENAG, MUI, Ormas Islam dan lain lain (Pasal 52 A
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
b.
Pelayanan
penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses
yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi
informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. [4]
C.
Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan
Agama dalam Perkara Ekonomi Islam
Sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama Pasal 49 menentukan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa
dan memutus sengketa tentang ekonomi Syariah. Penjelasan Pasal 49 menyebutkan
rincian bidangbidang yang termasuk dalam lingkup ekonomi Syariah adalah 11
bidang. Adapun yang dimaksud dengan
Ekonomi Syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah antara lain meliputi : bank syari’ah, lembaga keuangan mikro
syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah,
pembiayaan syari’ah, penggadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan
syari’ah dan bisnis syari’ah.
Penyebutan
11 bidang tersebut di atas, tentulah tidak bersifat limitatif hal ini dikarenakan sebelumnya didahului
oleh kata ‘antara lain’, sehingga tentunya tidak tertutup kemungkinan diluar 11
bidang dimaksud masih ada bidang kegiatan ekonomi Syariah lainnya yang masuk.
Demikian misalnya masih terbuka pada bentuk kegiatan usaha seperti perusahaan
Syariah, kepailitan Syariah, persaingan usaha Syariah, dan lain sebagainya.
Walaupun menurut Abdurrahman (Hakim pada Mahkamah Agung Republik Indonesia), hal-
hal tersebut dalam kaitannya dengan kewenangan Peradilan Agama masih terdapat
perbedaan pendapat.
Perbedaan
pendapat menyangkut bidang yang belum disebutkan dalam 11 bidang dimaksud tentu
selalu saja menimbulkan pertanyaan apakah Pengadilan Agama berwenang untuk
memeriksa dan mengadilinya atau tidak. Tetapi berangkat dari Penjelasan Pasal
49 tersebut di atas, yang tidak memberikan pengecualiaan maka lingkup
kewenangan Peradilan Agama bidang ekonomi Syariah adalah meliputi seluruh
perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip Syariah. Dalam rancangan semula kewenangan ini
hanya terbatas pada persoalan Perbankan Syariah, tetapi kemudian ditambah
menjadi ekonomi Syariah.
Karenanya,
dalam Penjelasan Pasal 49 tersebut dikatakan bahwa penyelesaian sengketa tidak
hanya dibatasi di bidang Perbankan Syariah melainkan juga di bidang ekonomi
Syariah lainnya. Pengertian tentang Prinsip Syariah mengalami perubahan dalam
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 12
bahwa “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang Syariah”. Disamping itu Perbankan Syariah dalam
melakukan kegiatan usahanya disamping berasaskan
Prinsip
Syariah juga berasaskan kepada demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Hal
ini tertera dalam Pasal 2 dan dalam Penjelasannya menyebutkan bahwa kegiatan
usaha yang berasaskan prinsip Syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang
tidak mengandung unsur :
a.
Riba, yaitu
penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu
penyerahan (fadhl) atau dalam transaksi pinjammeminjam yang memberikan syarat kepada Nasabah Penerima Fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya
waktu (nasi’ah);
b.
Maisir, yaitu
transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat
untung-untungan;
c.
Gharar, yaitu
transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaanya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali
diatur lain dalam syariah;
d.
Haram, yaitu
transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;
e.
Zalim, yaitu
transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Yang dimaksud ‘demokrasi ekonomi’ adalah kegiatan ekonomi
syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan
kemanfaatan. Yang dimaksud dengan ‘prinsip kehati-hatian’ adalah pedoman
pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat,
dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih
lanjut Pasal 26 menegaskan bahwa :
1.
Kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 dan/atau produk dan
jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.
2.
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
3.
Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
4.
Dalam rangka
penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
Indonesia membentuk komite Perbankan Syariah.
5.
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas Komite Perbankan
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Penegasan Prinsip Syariah sebagaimana di atas, tentu
tidak hanya dapat diberlakukan pada kegiatan usaha terkait Perbankan Syariah,
tetapi juga dapat diimplementasikan pada berbagai transaksi ekonomi Syariah di
luar Perbankan Syariah, asalkan transaksi ekonomi tersebut masuk dalam lingkup
ekonomi Syariah. Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka semua perkara
atau sengketa ekonomi Syariah di bidang perdata merupakan kewenangan mutlak
lingkungan Peradilan Agama untuk menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikannya, kecuali kalau secara tegas ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Pengadilan
Agama (PA) sebagai pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di ibukota
madya/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota, tetapi tidak
menutup kemungkinanadanya pengecualian.
b.
Penggadilan Tinggi
Agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota
provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi[6].
Mahkamah Agung (MA) merupakan pengadilan negar tertinggi dari
keempat lingkungan peradilan, yaitu peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha Negara.
Wewenang pengadilan agama berdasarkan berdasarkan pasal 49
Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun
1989 tentang peradilan agama adalah: Perkawinan,Waris,Wasiat, Hibah,Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, Ekonomi Syariah
Fungsi perdilan agama indonesia
yaitu : Fungsi
mengadili (judicial power), Fungsi
pembinaan ,Fungsi pengawasan Fungsi nasehat, Fungsi administratif dan juga mempunyai fungsi lain
diantarnya:
- Melakukan
koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain
yang terkait, seperti KEMENAG, MUI, Ormas Islam dan lain lain (Pasal 52 A
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
- Pelayanan
penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi
akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan
transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan
Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Ruang
Lingkup
Kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Islam dalam Undang-Undang
No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 menentukan
bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan memutus sengketa tentang ekonomi
Syariah.
Adapun yang dimaksud dengan
Ekonomi Syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah antara lain meliputi : Bank syari’ah, Lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah,
reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga
berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah,
penggadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis
syari’ah
B. Saran
Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk itu penulis mengharapkan kepada
pembaca untuk dapat memberikan kritik dan sarannya demi kemajuan penulisan
makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, 30 Agustus
2010. Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Indonesia. Banjarmasin:
Makalah Orasi Ilmiah disampaikan pada Pembukaan Kuliah Fakultas Syariah
IAIN Antasari.
Mardani. 2010. Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama & Mahkamah Syariyah. Jakarta: sinar grafika
Suharjo
Jojo, 2011. jurnal Peradilan Agama. brebes: PA-Brebes.
Sumber lain:
http://paandoolo.go.id
(diakses pada hari sabtu, pukul: 19.33, tanggal 30 bulan September 2017).
[1] Madani,”Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariyah”, (Jakarta: Sinar
Grafika ), 2010, hlm. 25
[2] Ibid, hlm: 66
[4] [4] Jojo
Suharjo,” Peradilan Agama”, (brebes), hlm: 5-6
[5] bid, hlm: 25-26
[6] Madani,”Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariyah”, (Jakarta: Sinar
Grafika ), 2010, hlm. 25