Hukum Bisnis Syariah

Tuesday 29 May 2018

Isu Terkini Perlindungan Konsumen Pada Nasabah Perbankam Syariah



Isu Terkini  Perlindungan Konsumen Pada Nasabah  Perbankam Syariah
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Semester Genab Mata Kulia Hukum Perlindungan Konsumen





Dosen Pengampu Mata Kuliah :
Galuh Widitya Qomaro, S.H.I., M.H.I.
Disusun oleh:
1.      Saiful Ihwan                     (150711100003)
2.      Riska Ifa Nur Ashari        (150711100073)
     

PRODI HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Allah, karena atas segala rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Isu Terkini Perlindungan Konsumen pada Pada Perbankan Syariah ”. Makalah ini kami tulis sebagai bahan diskusi di kelas mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen Pada program studi Hukum Bisnis Syariah yang sedanng kami tempuh.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi teknis maupun materi tulisan. Untuk itu, kritik dan saran kami harapkan demi peningkatan yang lebih baik kedepan. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan khususnya bagi kami sebagai penyusun.


Bangkalan, 25 Mei  2018



Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Demikian dinyatakan oleh Cicero pada abad I SM dan ditegaskan juga oleh Artidjo Alkostar (Hakim agung RI), bahwa pada dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal tersebut adalah merupakan nilai dan kebutuhan asasi bagi masyarakat beradab.

Kunci pokok dalam perlindungan bagi nasabah bahwa antara nasabah dengan lembaga keuangan perbankan syariah, sangat erat hubungannya, bank tidak akan berkembang dengan baik serta tidak dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, jika tidak ada nasabah, oleh karena sebagai pelaku usaha perbankan sangat tergantung dangan nasabah untuk dapat mempertahankan kelangsungan usahanya. Sabagaimana akan dibahas lebih dilanjut berdasarkan rumsan masalah dibawah berikut
B.     Rumusan Masalah

1.      Urgensi Perlindungan Nasabah Bank Syariah?
2.      Bentuk Perlindungan Hukum dari Peraturan Bank Indonesia?
3.      Bentuk Perlindungan Konsumen Pada UUPK?
4.      Bentuk Perlindungan Konsemen pada kemurnian Syariah?
C.    Tujuan

1.      Urgensi Perlindungan Nasabah Bank Syariah.
2.      Bentuk Perlindungan Hukum dari Peraturan Bank Indonesia.
3.      Bentuk Perlindungan Konsumen Pada UUPK.
4.      Bentuk Perlindungan Konsemen pada kemurnian Syariah.



BAB II
PEMBAHA SAN
         A.    Urgensi Perlindungan Nasabah Bank Syariah
Berbicara tentang perlindungan hukum bagi nasabah , tentu timbul pertanyaan kepada kita mengapa nasabah perlu dilindungi dan bagaimana bentuk-bentuk perlindungannya menurut peraturan perundang-undangan. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum, adalah upaya untuk menciptakan rasa aman dan terlindungi bagi para nasabah. Sedangkan yang dimaksud dengan nasabah bank adalah konsumen jasa perbankan yang bertransaksi di jasa keuangan Perbankan (Jamal Wiwoho, 2010: 7). Kunci pokok dalam perlindungan hukum bagi nasabah bahwa antara nasabah dengan lembaga keuangan perbankan , sangat erat hubungannya, karena bank tidak akan berkembang dengan baik serta tidak dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, jika tidak ada nasabah, oleh karena sebagai pelaku usaha perbankan sangat bergantung dangan nasabah, untuk dapat mempertahankan kelangsungan usahanya.
Dalam kenyataan terjadi banyak pelaku usaha/pihak perbankan memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan hak-hak konsumen serta memanfaatkan kelemahan konsumennya (nasabah) tanpa harus mendapatkan sanksi hukum, minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai iktikad baik dalam menjalankan usaha yaitu berprinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan seefisien mungkin sumber daya yang ada. Disamping itu, lemahnya posisi konsumen tersebut di sebabkan antara lain perangkat hukum yang ada belum bisa memberikan rasa aman, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan dan hak-hak konsumen yang semestinya terlibat penegakan hukum (law enforcement) itu sendiri dirasakan kurang tegas. Disisi lain cara berpikir sebagai pelaku usaha semata-mata masih bersifat profit oriented dalam konteks jangka pendek tanpa memperhatikan kepentingan konsumen yang merupakan bagian dari jaminan berlangsungnya usaha dalam konteks jangka panjang (Azhari, TT,1).



Perlindungan bagi nasabah bank /konsumen dalam percaturan bisnis dewasa ini adalah hal-hal yang sangat urgen, dengan adanya perlindungan secara legal atau payung hukum adalah menciptakan kenyamanan dan kedamaian kepada para pihak yang terkait. selain itu adanya undang-undang perlindungan konsumen akan semakin memudahkan pemerintah dan berbagai lembaga terkait untuk melakukan penataan, pembinaan, serta pendidikan kepada konsumen akan dapat memaksimalkan perannya dalam dunia perdagangan, bisnis, perbankan dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi terhadap undang-undang adalah adanya sanksi bagi pelanggarnya, dengan demikian upaya untuk lebih menjadikan seorang konsumen sebagai bagian yang patut mendapatkan perlindungan benar-benar terwujud (Syazali dan Heni Sri Imaniyati. 2000:12)
Secara eksplisit sulit ditemukan ketentuan mengenai perlindungan nasabah debitur dalam Undang-Undang perbankan Nomor 10 Tahun 1998, sebagaian besar Pasal-Pasal hanya berkonsentrasi pada aspek kepentingan perlindungan bank sehingga kedudukan nasabah sangatlah lemah, baik ditinjau dari kontraktual dengan bank dalam perjanjian kredit misalnya nasabah sangat dilematis, perjanjian kredit yang biasanya menggunakan standar kontrak, senantiasa membebani nasabah debitur dengan berbagai macam kewajiban dan tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung ditujukan kepada nasabah, yang pada gilirannya memunculkan tanggung jawab minus dari pihak bank. Tidak terkecuali perbankan syariah yang secara baik melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 13 memberikan daftar ligitimasi kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh bank secara umum, namun secara khusus untuk bank syariah kegiatan usaha yang dapat dilaksanakan adalah yang sesuai dengan prinsip syariah .
Aturan-aturan dan isi pasal dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 (UU Bank Syariah) tersebut begitu memberikan harapan segar bagi nasabah, namun dalam prakteknya kadang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang seharusnya menjadi dasar operasionalnya, banyak kendala-kendala yang sedikit mengusik berlangsungnya opersional bank syariah dengan prinsip syariah, seiring dengan perjanjian yang terjadi pada perbankan secara umum, seperti klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit sering dimanfaatkan bank padahal beban bunga yang tinggi sudah cukup membebani nasabah jika diperhatikan dengan seksama beban bank yang tinggi, sebenarnya akan berpengaruh pada faktor psikologis nasabah, karena bunga yang menimbulkan ketidaktenangan dalam menjalankan usahanya sehingga akan berimbas pada kegagalan usaha nasabah yang bersangkutan.
        B.     Bentuk Perlindungan Hukum dari Peraturan Bank Indonesia
Pada pokoknya Bank Indonesia mempunyai 3 bidang tugas, yaitu
a            Menetapkan dan melaksanakan kebijkan moneter,
b           Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan
c            Mengatur dan mengawasi bank.
Kewenangan mengatur ini yang kemudian pada bulan januari tahun2004 Bank Indonesia membuat arsitektur perbankan Indonesia, dengan tujuan untuk memberikan peta perbankan dimasa yang akan datang.
       a      Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
Menurut Dr. Soedrajat Djiwandono, pengertian Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah kerangka menyeluruh meliputi arah, bentuk dan tatanan industri perbankan Indonesia dalam jangka lima sampai sepuluh tahun kedepan, yang berlandaskan pada visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantun mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.[1]
Enam pilar arsitektur perbankan adalah:
a.       struktur pebankan yang sehat
b.      pengaturan perbankan yang efektif
c.       pengawasan bank yang independen dan efektif
d.      kualitas manajemen dan opersional perbankan
e.       infrastruktur pendukung
f.       perlindungan konsumen
Dari enam pilar arsitektur perbankan Indonesia ada satu pilar yang menjadi sorotan pemakalah yakni pilar keenam tentang perlindungan konsumen. Didalam buku Hermansyah dinyatakan dengan menggangkat masalah perlindungan konsumen menjadi salah satu pilar dari arsitektur perbankan di Indonesia, hal ini menunjukan besarnya komitmen Bank Indonesia dan perbankan untuk menempatkan konsumen jasa perbankan memiliki posisi yang sejajar dengan bank-bank. Sehingga perbankan bersama-sama dengan masyarakat akan memiliki agenda yang bertujuan untuk memperkuat perlindungan konsumen. Agenda tersebut adalah:
1)      menyusun mekanisme pengaduan nasabah
2)      membentuk lembaga mediasi perbankan
3)      meningkatkan transparansi informasi produk
4)      melakukan edukasi prodak-produk dan jasa bank kepada masyarakat.
                 b     Lembaga penjamin simpanan (LPS)
        Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005.
“Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS.”
        LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya.
        Sejak tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga/bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih dari Rp 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank tersebut.
        Tujuan kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi simpanan nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per 31 Desember 2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari Rp 100 juta mencakup lebih dari 98% rekening simpanan.
        Sejak terjadi krisis global pada tahun 2008, Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang mengubah nilai simpanan yang dijamin oleh LPS menjadi Rp2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Perpu ini dapat disesuaikan kembali, apabila krisis global meluas atau mereda.
        Adanya kewajiban bagi bank untuk menjadi anggota LPS sehingga dapat memberi perlindungan bagi nasabah.
        Dalam upaya dalam menyelamatkan bank gagal, LPS mempunyai kewenangan, antara lain mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk RUPS; menguasai, mengelola, dan menjual/ mengalihkan aset bank; melakukan penyertaan modal sementara (PMS); serta mengalihkan manajemen pada pihak lain. LPS mempunyai jangka waktu penyelamatan paling lama 4 tahun untuk bank tidak berdampak sistemik dan 5 tahun untuk bank gagal yang berdampak sistemik. Selanjutnya, LPS harus menjual seluruh saham bank yang diperoleh dari penyertaan modal sementara (PMS) secara terbuka dan transparan.
        Mengenai pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya, LPS memiliki hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan tersebut (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Pemberian kewenangan dan hak tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat pemulihan (recovery rate) bagi LPS, sehingga keberlangsungan program penjaminan simpanan dapat terus dijaga. [2]
     C.    Bentuk Perlindungan Konsumen Pada UUPK
      Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen ini, diharapkan nasabah perbankan syariah mendapatkan hak-haknya, sehingga bank syariah, nasabah dan shohibul mal tidak dirugikan oleh salah satu pihak.
Hal ini sangatlah bagus sehingga seorang konsumen akan mempunyai landasan serta payung hukum untuk melindungi segala kepentingan dalam dunia usaha tidak terkecuali terhadap nasabah bank syariah, selain itu adanya undang-undang perlindungan konsumen akan dapat memaksimalkan perannya dalam dunia perbankan. Sebagai konsekuensinya terhadap undang-undang adalah adanya sanksi bagi pelanggarnya, dengan demikian supaya untuk lebih menjadikan seorang konsumen/nasabah sebagai bagian yang patut mendapatkan perlindungan benar-benar terwujud.
Pada pasal 3 butir b dan d tentang tujuan perlindungan konsumen. Butir b tujuan perlindungan konsumen adalah mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. Sedangkan butir d berbunyi: menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Dari pasal 3 di atas kita bisa melihat bahwasannya tujuan dari perlindungan konsumen adalah supaya konsumen tidak mendapatkan diskriminasi atau mendapatkan hak-haknya dari penyedia jasa atau bank syariah.
Peraturan Hukum jugs memberikan perlindungan bagi nasabah selaku konsumen tidak hanya melalui UUPK, akan tetapi lebih spesifik lagi pada peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Karena bank merupakan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha dengan menarik dana langsung dari masyarakat, maka dalam melaksanakan aktivitasnya bank harus melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan bank, yaitu prinsip kepercayaan (fiduciary principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (confidential principle), dan prinsip mengenal nasabah (know your costumer principle).
Kepercayaan merupakan inti dari perbankan sehingga sebuah bank harus mampu menjaga kepercayaan dari para nasabahnya. Hukum sebagai alat rekayasa social (Law as a tool of social engineering) terlihat aktualisasinya di sini. Di tataran undang-undang maupun PBI terdapat pengaturan dalam rangka untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah. Yaitu, untuk memberikan perlindungan hukum khususnya bagi nasabah deposan sebagaima tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang bersangkutan.[3]
Amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dimaksud telah direalisasikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Adapun yang menjadi fungsi dari lembaga ini adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabiltas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.[4]
    D.    Bentuk Perlindungan Konsemen pada kemurnian Syariah
Perlindungan berdasarkan undang-undang perbankan syariah. Adapun perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang no. 21 tahun 2008, tentang perbankan syariah adalah terdapat pada Pasal 41 cangkupan rahasia bank, yang berbunyi: bank dan pihak terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanan serta nasabah investor dan investasinya.
Jadi perlidungan hukum pada undang-undang no 21 tahun 2008 pasal hanyalah bersifat tentang data nasabah pemilik dana (shohibul mal).[5]



                [1] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, edisi 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2006), hal. 178.

[2] http://www1.lps.go.id/in/web/guest/home sabtu, 26 mei 2018 jam 10.00
[3] Pasal 37 B ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
[4] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004.
[5] UU RI No 21. Tahun 2008, Sinar Grafika, Jakarta Hal.34.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

Assalamualaikum Wr. Wb. 🙏🏻 Salam Creative 🌹 Undangan Terbuka Untuk seluruh Keluarga UKM triple-C dalam agenda Study Club nanti mal...

PROFIL FKIS

SAIFUL IHWAN. Powered by Blogger.

Cari Makalah FKis

WAWAN JR

WAWAN JR
Mahasiswa Hukum Bisnis Syariah di Kampus Universitas Trunojoyo Madura

Postingan Populer

Postingan Favorit

Blog Archive