Hukum Bisnis Syariah

Wednesday 26 September 2018

Madzhab Fiqh Sunni yang Masih Eksis

Madzhab Fiqh Sunni yang Masih Eksis
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Muqaranah Al-Madzahib Pada Program Studi Hukum Bisnis Syari’ah


 











Dosen Pengampu : Ahmad Musadad, S.H.I., M.S.I.

Disusun Oleh: Kelompok 3
1.     Saiful Ihwan                          (150711100003)
2.     Choirotun Nasukha              (150711100024)
3.     Nurul Izzati                           (150711100044)        
                       



PROGRAM STUDI HUKUM BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS  TRUNOJOYO  MADURA
2017

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Segala puja dan puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami untuk memenuhi tugas Muqarah Al-Madzahib mengenai Madzhab Fiqh Sunni yang Masih Eksis.
Pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih pada teman-teman seperjuangan yang juga selalu memberikan motivasi, baik berupa sharing pendapat, motivasi dan hal-hal lainnya dalam rangka pembuatan makalah ini.
Kami sangat menyadari tidak ada manusia yang sempurna begitu juga dalam penulisan makalah ini, apabila nantinya terdapat kekurangan, kesalahan dalam makalah ini, kami selaku penulis sangat berharap kepada seluruh pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua baik dari kami selaku penulis dan para pembaca.

Wassalamu’alaikum wr.wb.



Bangkalan, 26 September 2017

    
     Penulis


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kedudukan Al-Qur’an sebagai dalil utama dengan bentuk pengaturan yang secara global memerlukan penjelasan. Semasa Rasulullah masih hidup, hal ini tidaklah menjadi persoalan, karena Rasulullah adalah orang yang diberi wewenang penuh untuk memberikan penjelasan terhadap wahyu Allah dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang disebut sunnah.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul belakangan, lahirlah para ahli fatwa. Mula-mula tugas ini dipegang oleh khulafa’ al rasyidin, kemudian para sahabat rasul yang lainnya. Dalam berfatwa, mereka mendasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dan jika dihadapkan pada masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Quran maupun Sunnah, mereka melakukan musyawarah dan mengadakan dialog diantara mereka sendiri untuk mencapai kesepakatan hukum.
Maka wajar jika fatwa-fatwa tersebut memiliki watak kedaerahan yang menjawab berbagai tuntutan masyarakat sebagai realisasi bahwa hukum-hukum dan aturan-aturan adalah refleksi perkembangan masyarakat sesuai dengan kondisi masing-masing dan fatwa ini diikuti dan dipertahankan oleh para penganutnya yang menjadikan cikal bakal terbentuknya madzhab dalam fiqh Islam.

B.    Rumusan Masalah

1.     Bagaimana biogarafi, sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Hanafi?
2.     Bagaimana biogarafi, sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Maliki?
3.     Bagaimana biogarafi, sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Syafi’i?
4.     Bagaimana biogarafi, sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Hanbali?

C.    Tujuan

1.     Agar pembaca mengetahui tentang biogarafi, sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Hanafi.
2.     Agar pembaca mengetahui tentang biogarafi, sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Maliki.
3.     Agar pembaca mengetahui tentang biogarafi, sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Syafi’i.
4.     Agar pembaca mengetahui tentang biogarafi, sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Hanbali.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Madzhab Hanafi (80-150 H)

Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zufi At Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian keluarga dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Beliau dilahirkan di Kuffah pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qalid bin Abdul Malik dan meninggal 150 H. Imam Abu Hanifah memulakan kehidapannya sebagai peniaga sutera akan tetapi berpindah untuk menuntut ilmu dan berguru dengan ulama-ulama terkenal pada masa itu seperti Al Syaikh Humad bin Abi Sulaiman yang telah mewarisi ilmu dari Abdullah bin Mas’ud seorang sahabat yang terkenal dalam bidang fiqih dan Ra’yi. Selain dari itu Abu Hanifah juga berguru dengan Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin dan Ja’far al-Sadiq.
Kebudayaan dan peradaban masyarakat Kuffah pun menjadi salah satu faktor mengapa Abu Hanifah banyak menggunakan ijtihad dan akal fikiran. Penduduk Kuffah sering dihadapkan pada berbagai persoalan hidup berikut problematikanya yang beraneka ragam. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut para fuqaha Kuffah terpaksa memakai ijtihad dan akal.
Selain itu Abu Hanifah adalah seorang ulama’ ahli ilmu kalam (teologi), beliau juga mahir dalam bidang perdagangan. Keluasan ilmu yang beliau miliki inilah yang menjadikannya seorang rasionalis. Manhaj (metodologi) Abu Hanifah dalam fiqh jelas, beliau akan mengembalikan segala persoalan kepada Al-Qur’an kemudian Sunnah dan pendapat para sahabat Nabi, al-Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’, dan Urf.
Ijtihad telah dibenarkan sejak zaman Nabi, ketika Rasulullah saw mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman beliau bertanya: “bagaimana cara engkau dalam berhukum?”, dengan merujuk kepada kitab Allah, “bagaiamana kalau tidak ada dalam kitab Allah?”, maka dengan merujuk kepada Sunnah Rasulullah, “bagaimana kalu tidak ada?”, maka aku akan berijtihad dengan betul. Dalam hadits yang lain Nabi bersabda: “Apabila seorang mujtahid berijtihad dan betul ijtihadnya maka dia akan mendapat dua pahala, apabila salah maka dia akan mendapat satu pahala.”
Imam Abu Hanifah banyak dikritik ulama lain karena dikatakan telah mengutamakan pendapat (ra’yu) daripada hadits, hal ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa beliau lebih banyak menggunakan pendapatnya sendiri daripada hadits karena pada masa itu penipuan hadits sangat berleluasa dan beliau takut terambil hadits yang palsu.
Predikat Al Imam Al Adzham diberikan kepadanya karena keluasan ilmunya. Imam Syafi’i mengatakan “barangsiapa yang belajar fiqh, maka ia adalah keluarga Abu Hanifah”. Beliau adalah keturunan Parsi yang lahir di Kuffah, Iraq. Suatu daerah yang jauh dari Hijaz, tempat wahyu turun, tempat timbulnya hadits dan tempat tinggal para sahabat Nabi. Diantar muurid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Zufar bin Hujail bin Qais Al Kufi (110-158 H), Muhammad bin Hasn bin Farqad As-Syaibani (132-189 H), Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al Kufi Maulana Al Anshari (w. 204 H). Merekalah yang bertangggung jawab menyebarkan madzhab Hanafi dan memperkuat kedudukan madzhab tersebut. Adapun kitab-kitab yang terkenal dalam madzhab Hanafi ialah Kitab Al Kafi oleh Imam Muhammad bin Muhammad Al-Marwazi dan Kitab Al Mabsut oleh Imam Muhmmad bin Ahmad Al Sharkhasi.
Dengan adanya dukungan ulama-ulama tersebut maka tersebar luaslah madzhab Hanafi dan ianya telah menjadi madzhab resmi bagi Khilafah Osmaniayah di Turki. Madzhab Hanafi mulai tumbuh di Kuffah, kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian timur. Dan sekarang ini madzhab Hanafi merupakan madzhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan madzhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.[1]
Karakteristik Madzhab Hanafi
1.     Madzhab Hanafiyah sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqh.
2.     Sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memilih untuk tidak menggunakannya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
3.     Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat dimana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa Imam Abu Hanifah hidup dimasa 100 tahun pertama semenjak wafat Nabi saw, jauh sebelum era Imam Bukhari dan Imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits. [2]
Hasil Pemikiran Madzhab Hanafi dalam Bidang Muamalah
1.     Benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ariyah (pinjam meminjam). Karena masih tetap milik wakif, maka benda wakaf dapat dijual, diwariskan dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia.  
2.     Perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus mengenai perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya, karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, perempuan hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu menurutnya perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani perkara perdata.[3]
3.     Dalam syirkah inan pembagian keuntungan yang tidak sama, meski modal masing-masing pihak sama adalah boleh, jika memang telah ditentukan demikian. Pembagian keuntungan tidak hanya didasarkan atas modal, tapi juga atas masa kerja, besarnya tanggung jawab dan lainnya.
4.     Anak kecil yang dibuang oleh orang tuanya dan ditemukan di dalam gereja atau rumah peribadatan Yahudi, atau disuatu desa diperkampungan orang-orang dzimmi, maka ia dihukumi sebagai seorang dzimmi (orang kafir yang dijamin negara Islam).

B.    Madzhab Maliki (93-179 H)

Imam Malik bin Anas Al Asbahi, berasal dari Yaman dan lahir di Madinah, dan tak pernah meninggalkan Madinah keculai untu Haji, beliau lebih suka duduk bersebelahan dengan Nabi, walaupun telah ditawarkan untuk mendampingi Khalifah di Baghdad. Sejak kecil beliu rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari itu, ibundanya sendiri mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.
Imam Malik hidup dalam sebuah keluarga yang semuanya adalah ahli hadits, banyak mengetahui atsar sahabat, hadits dan fatwa-fatwanya. Kakeknya, Malik Ibnu Amir adalah termasuk Tabi’in besar. Saudara-saudara dan paman-pamannya berkecimpung dalam dunia ilmu dan fiqh. Sepanjang riwayat yang ada, beliau tidak pernah meninggalkan kota Madinah dan masyarakat Hijaz. Suatu kehidupan yang sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan luar berikut berbagai problemnya. Kehidupan ini lebih dekat dengan tradisi badawah (kampung). Inilah yang menjadi faktor penting mengapa ia lebih cenderung memakai hadits dan menjauhi sampai batas tertentu pemakaian rasio karena Madinah adalah daerah hadits dan tempat tinggal para sahabat Nabi .
Dasar-dasar madzhab Maliki adalah:
1.     Al-Qur’an
2.     Sunnah
3.     Ijma’ ahli Madinah
4.     Qiyas
5.     Istishab
Imam Malik yang banyak berguru dengan para Tabi’in, diantaranya ialah Ibn Al-Shihab al Zuhri dan Rabi’ah Al Ra’yi, Yahya ibn Said, Abdul Rahman bin Hurmuz dan lain-lain. Beliau belajar dan mengajar di Masjid Nabawi dan diantara murid beliau adalah Imam Syafi’i, Al Amin dan Al Ma’mun (putera Khalifah Harun Ar Rasyid), Abdullah bin Wahb, Abdul Rahman bin Al Qasim, Abul Hasan Al Qurtubi dan lain-lain.
Imam Malik telah menulis sebuah buku yang dinamakan Al Muwatta’, buku ini berisi hadits-hadits yang sahih dan mursal, fatwa sahabat dan pendapat para Tabi’in, dan juga berisi hasil ijtihad Imam Malik sendiri dalam bentuk qiyas, tafsir, tarjih. Beliau menulis buku tersebut dalam masa empat puluh tahun, ini adalah merupakan karya terbesar Imam Malik dan merupakan buku pertama dalam ditulis seumpamanya. Setelah Al-Qur’an dan hadits. Al Muwatta’ ingin dijadikan Kitab dan madzhab resmi bagi Khilafah Abbasiyah masa itu tetapi Imam Malik dengan tawadu’ menolak permintaan tersebut. Selain Al Muwatta’ kitab yang terkenal dalam madzhab Maliki adalah Al Mudawwanah yang ditulis oleh murid-murid beliau dan menjadi pegangan resmi pemerintahan Umayyah di Andalusia Spanyol. Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.[4]
Karakteristik Madzhab Maliki
1.     Madzhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah saw, dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzabnya dengan 20 dasar; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, amal ahlul Madinah, perkataan sahabat, istihsan, saddudzara’i, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana.
2.     Madzhab ini kebalikan dari madzhab Al Hanafiyah. Madzhab Maliki mengandalkan sumber-sumber syariah (Al-Quran Hadits). Sebab madzhab ini tumbuh dan berkembang di kota Madianah, diamana penduduknya adalah anak keturunan para sahabat. Imam Malik sanagat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah saw bisa diajadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih pada umumnya.[5]
Hasil Pemikiran Madzhab Maliki dalam Bidang Muamalah
1.     Dalam syirkah ‘inan, jika modal masing-masing sama tetapi pembagian keuntungan tidak sama, maka syirkah tersebut menjadi rusak (batal).
2.     Apabila didapati anak kecil (dibuang orang tuanya) di dalam negara Islam maka ia dipandang sebagai anak yang merdeka dan Muslim. Jika sudah baligh ia menolak agama Islam maka ia tidak dapat ditetapkan sebagai Muslim. Jika tetap enggan, ia boleh dibunuh.

C.    Madzhab Syafi’i (150-204 H)

Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris al Syafi’i, mempunyai nasab yang bertemu dengan Rasul yaitu dengan datuk beliau yang bernama Abd Manaf. Beliau lahir di Ghazzah, Palestina, dan wafat di Mesir. Menimbah ilmu di Mekkah samapi berumur 15 tahun dan diberikan izin berfatwa, kemudian beliau pindah ke Madinah berguru dengan Imam Malik sampai wafat, lalu mengembara ke Yaman untuk berguru dengan Yahya bin Hassan Murid Imam Al Auza’i, beliau ditangkap pada tahun 184 H karena didakwa menentang pemerintah Abbasiyah dan dibawa ke Baghdad disinilah  beliau bertemu dengan Imam Muhammad al Syaibani dari Madzhab Hanafi, beliau terus mengembara untuk belajar dan mengembangkan ilmunya samapailah akhirnya beliau mukim di Mesir pada tahun 199 dan meninggal tahun 204 H.
Oleh karena Imam Syafi’i banyak mengembara dalam menuntut ilmu maka madzhabnya juga merupakan kombinasi dari beberapa madrasah/ pemikiran dan kecenderungan, beliau mengambil sikap tengah anatar madrasah ahlul hadits dan madarasah ahlul ra’yi, beliau tidak menolak hadits ahad yang sahih, dan menolak hadits mursal yang bukan oleh kibar Tabi’in. Dan beliau menggunakan metode qiyas dalam ijtihadnya, ini berarti beliau seorang pro ahlul hadits dalam masa yang sama pro ahlul ra’yi.
Imam Syafi’i adalah seorang ahli hadits yang banyak menghafal hadits dan dalam kaidah fiqhnya hadits adalah sebagai sharih, muqayyid, mufassil, dan mukhassis kepada Al Qur’an, sumber ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah adalah Ijma’ dan kemudian perkataan saahabat. Dan yang terakhir adalah qiyas, dengan ini beliau menolak istihsan dan istislah atau amal ahli madinah.
Imam Syafi’i adalah ulama’ yang melakukan kompromi antara fiqh ahli hadits dan ahli ra’yi. Mula-mula beliau tinggal ditengah masyarakat Mekkah lalu pindah ke Madinah. Keduanya berada di Hijaz, bumi Sunnah dan Hadits dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana hingga relatif tak banyak timbul problem kemasyarakatan. Maka wajar sekali jika Imam Syafi’i cenderung pada aliran ahli hadits, bahkan mengaku sebagai pengikut madzhab Maliki, karena beliau memang belajar kepada Imam Malik. Tetapi setelah ia mengembara ke Baghdad, Iraq, dan menetap disana untuk beberapa tahun serta mempelajari fiqh Abu Hanifah, maka mulailah beliau condong kepada aliran rasional ini. Apalagi setelah beliau saksikan sendiri bahwa tingginya tingkat kebudayaan di Iraq sebagai daerah perkotaan menyebabkan aneka macam masalah hidup berikut keruwetannya. Tidak hanya itu, beliau juga mempelajari faham mu’tazilah dan syi’ah.
Dasar-dasar madzhab Syafi’i yang pokok ialah:
1.     Al-Qur’an, tafsir secara lahiriah
2.     Sunnah dari Rasulullah
3.     Ijma
4.     Qiyas
Pengalaman yang diperbolehkan dari berbagai aliran fiqh membuatnya berwawasan luas. Beliau mengkritik letak kekuatan dan kelemahan, luas dan sempitnya pandangan masing-masing madzhab. Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan gurunya, Imam Malik, sehingga beliau menulis kitab Khilaf Malik. Tidak hanya itu, beliau juga mengajukan kritik kepada madzhab Hanafi. Dan kritik-kritik terhadap kedua madzhab tersebut itulah akhirnya muncul madzhab baru yang merupakan sintesa antara fiqh ahli hadits dan fiqh ahli ra’yi.
Imam Syafi’i menulis buku tentang Usul Fiqh, kitabnya Ar Risalah adalah kitab pertama yang membincangakan tentang ilmu itu, dan kitab kedua adalah kitab al umm yang khusus membicarakan tentang madzhabnya dalam fiqh. Diantara murid beliau yang tersebar di Iraq dan Mesir diantaranya Al Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi, Al Hasan bin Muhammad Az Za’farani, Abu Ali Husein bin Ali Al Karabisi, Isma’il bin Yahya Al Muzni, Abu Ya’qub Al Buwaiti dan Imam Nawawi. Madzhab beliau pernah menjadi madzhab resmi di Mesir dan Negara-negara di Asia.
Madzhab Syafi’i samapai saat ini dianut oleh umat umat Islam di: Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni Rusia dan Yaman.[6]
Karakteristik Madzhab Syafi’i
1.     Mengambil jalan tengah antara pemikiran Fiqh Imam Hanifah dan Imam Malik, dalam menentukan hujjah. Dasar pijakan adalah Al Qur’an dan Hadits dengan analisa akliah.
2.     Dasar madzhabnya; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah.
3.     Tidak mengambil istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan “Barangsiapa yang melakukan istihsan, maka ia telah menciptakan syariah”. Penduduk Baghdad mengatakan “Imam Syafi’i adalah nashirussunah”.[7]
Hasil Pemikiran Madzhab Syafi’i dalam Bidang Muamalah
1.     Pemimpin umat Islam harus harus orang Islam dan non muslim terlindungi. Kriteria pemimpin yang berkualitas yaitu berakal, dewasa, meredeka, muslim, laki-laki, dapat berijtihad, berkemampuan manajerial/tadbir, gagah berani, melakukan perbaikan agama.
2.     Hakim perempuan, tidak boleh secara mutlak, diqiaskan dengan tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin. Syarat hakim yaitu muslim, dewasa, merdeka, laki-laki, adail, dapat mendengar, melihat, berbicara, berkecukupan, dan mampu berijtihad.[8]

D.    Madzhab Hanbali (164-241 H)

Imam Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Al Syaibani lahir di Baghdad dan mengembarah ke Mekah Madinah., Syam, Yaman, dan lain-lain untuk menuntut ilmu dan berguru, dan diantara guru beliau adalah Imam Syafi’i. Beliau amat arif dalam ilmu Sunnah, dan berjayah dalam menghasilkan sebuah musnad yang mengandung lebih dari 40.000 hadits.
Dalam madzhabnya beliau berpegang pada lima usul (kaedah), nash dari Al-Qur’an dan Sunna, fatwa sahabat, ijtihad sahabat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengambil hadits mursal dan dha’if dan lebih diutamakan daripada qiyas, khususnya dalam hal yang berkaitan fadhail a’mal (sunnat), dan qiyas sebagai langkah terakhir.
Madzhab ini muncul sebagai reaksi yang wajar terhadap sikap-sikap keterlaluan sebagian aliran Islam seperti Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah dan Murji’ah.
Mu’tazilah misalnya, berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Faktor inilah yang menyebabkan Ahmad bin Hanbal berpegang teguh pada hadits dan sunnah. Sikap ini memang berbeda dengan sikap Imam Syafi’i yang melawan penyelewengan ijtihad dengan memadukan Hadits dan Ra’yi. Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ijtihad itu sendiri harus dilawan dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Imam Ahmad tidak pernah menulis buku tentang madzhabnya, akan tetapi murid-murid beliau mengumpulkan pendapat-pendapatnya, maka lahirlah buku Al Jami’ oleh Ahmad bin Muhammad Al Khilaf dan buku Al Mukhtasar Al Khirqi oleh Abul Qasim Umar bin Husain Al Khirqi dan Sharah buku tersebut oleh Ibn Qudamah Al Maqdisi yang dinamakan Al Mughni. Diantara pengikut beliaua ialah Imam Ibn Taymiyah dan Imam Ibn Qayyim Al Jauziyyah.[9]
Karakteristik Madzhab Hanbali:
1.     Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Qur’an, Sunnah, fatwa sahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, maslahah mursalah, saddudzara’i.
2.     Madzhab ini muncul sebagai reaksi yang wajar terhadap sikap-sikap keterlaluan sebagian aliran Islam seperti Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Murji’ah. Mu’tazilah misalnya berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
3.     Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ijtihad itu sendiri harus dilawan dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah.[10]
Hasil Pemikiran Madzhab Hanbali dalam Bidang Muamalah
1.     Anak kecil (yang dibuang orang tuanya) yang ditemukan didalam negara Islam. Yaitu anak kecil yang sudah mumayyiz, tetapi belum balligh dan berakal, maka keislamannya dipandang sah.
2.     Tidak sah akad nikah dengan tulisan baik dalam keadaan berjarak jauh atau hadir ditempat karena tulisan itu hanya isyarat. Jadi, jika wali nikah mengatakan pada calon mempelai laki-laki yang jauh: “saya nikahkan kamu dengan putriku atau saya nikahkan putriku dengan fulan”, kemudian menulis surat, dan setelah sampai surat pada mempelai laki-laki. Dia menjawab: “saya terima”, itu tidak sah.


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

a.      Madzhab Hanafi (80-150 H)
Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zufi At Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian keluarga dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Beliau dilahirkan di Kuffah pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qalid bin Abdul Malik dan meninggal 150 H.
Karakteristik Madzhab Hanafi
1.     Madzhab Hanafiyah sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqh.
2.     Sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka beliau lebih memilih untuk tidak menggunakannya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
3.     Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat dimana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa Imam Abu Hanifah hidup dimasa 100 tahun pertama semenjak wafat Nabi saw, jauh sebelum era Imam Bukhari dan Imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
b.     Madzhab Maliki (93-179 H)
Imam Malik bin Anas Al Asbahi, berasal dari Yaman dan lahir di Madinah, dan tak pernah meninggalkan Madinah keculai untu Haji, beliau lebih suka duduk bersebelahan dengan Nabi, walaupun telah ditawarkan untuk mendampingi Khalifah di Baghdad. Sejak kecil beliu rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari itu, ibundanya sendiri mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.
Karakteristik Madzhab Maliki
1.     Madzhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah saw, dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzabnya dengan 20 dasar; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, amal ahlul Madinah, perkataan sahabat, istihsan, saddudzara’i, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana.
2.     Madzhab ini kebalikan dari madzhab Al Hanafiyah. Madzhab Maliki mengandalkan sumber-sumber syariah (Al-Quran Hadits). Sebab madzhab ini tumbuh dan berkembang di kota Madianah, diamana penduduknya adalah anak keturunan para sahabat. Imam Malik sanagat meyakini bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah saw bisa diajadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih pada umumnya. 
c.      Madzhab Syafi’i (150-204 H)
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris al Syafi’i, mempunyai nasab yang bertemu dengan Rasul yaitu dengan datuk beliau yang bernama Abd Manaf. Beliau lahir di Ghazzah, Palestina, dan wafat di Mesir.
Karakteristik Madzhab Syafi’i
1.     Mengambil jalan tengah antara pemikiran Fiqh Imam Hanifah dan Imam Malik, dalam menentukan hujjah. Dasar pijakan adalah Al Qur’an dan Hadits dengan analisa akliah.
2.     Dasar madzhabnya; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah.
3.     Tidak mengambil istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan “Barangsiapa yang melakukan istihsan, maka ia telah menciptakan syariah”. Penduduk Baghdad mengatakan “Imam Syafi’i adalah nashirussunah”.
d.     Madzhab Hanbali (164-241 H)
Imam Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Al Syaibani lahir di Baghdad dan mengembarah ke Mekah Madinah., Syam, Yaman, dan lain-lain untuk menuntut ilmu dan berguru, dan diantara guru beliau adalah Imam Syafi’i. Beliau amat arif dalam ilmu Sunnah, dan berjayah dalam menghasilkan sebuah musnad yang mengandung lebih dari 40.000 hadits.
Karakteristik Madzhab Hanbali:
1.     Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Qur’an, Sunnah, fatwa sahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, maslahah mursalah, saddudzara’i.
2.     Madzhab ini muncul sebagai reaksi yang wajar terhadap sikap-sikap keterlaluan sebagian aliran Islam seperti Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Murji’ah. Mu’tazilah misalnya berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
3.     Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ijtihad itu sendiri harus dilawan dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah.

B.    Saran

Demikian makalah ini kami tulis, semoga bermanfaat bagi para pembaca umumnya, dan bagi kami khususnya. Kami berharap para pembaca yang ingin menulis dengan tema yang kami angkat, tidak menggunakan makalah ini sebagai acuan tunggal dalam penyusunan makalah selanjutnya. Dan kami berharap saran dan kritik yang membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Al-‘Allamah Syaikh bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. 2014. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi.
Nasikin, M. Lutfillah, DKK. 2008. Ulul Albab Fiqh. Mojokerto: Mutiara Ilmu.
Navis Abdurrahman. 2012. Konsultasi hukum islam. Surabaya: Nurul Huda press.
Sumber Lain:
http://googleweblight.com/ijtihad-dan-contoh-pemikiran-imam-empat.(diakses pada hari Sabtu tanggal 23 September 2017 pukul 23.01).
http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Fiqh/madzhab-pemikiran-fiqih-para-imam-madzhab.htm (diakses pada hari Sabtu tanggal 23 September 2017 pukul 23.16).



[1] Nasikin, M. Luthfillah, DKK, Ulul Albab Fiqih, (Mojokerto: Mutiara Ilmu, 2008), hlm. 83.
[2] Ibid, hlm. 87-88.
[4] Nasikin, M. Luthfillah, DKK, Ulul Albab Fiqih, (Mojokerto: Mutiara Ilmu, 2008), hlm. 83-84.
[5] Ibid, hlm. 88.
[6] Nasikin, M. Luthfillah, DKK, Ulul Albab Fiqih, (Mojokerto: Mutiara Ilmu, 2008), hlm. 84-85.
[7] Ibid, 88.
[9] Nasikin, M. Luthfillah, DKK, Ulul Albab Fiqih, (Mojokerto: Mutiara Ilmu, 2008), hlm. 85.
[10] Ibid, hlm. 88.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

Assalamualaikum Wr. Wb. 🙏🏻 Salam Creative 🌹 Undangan Terbuka Untuk seluruh Keluarga UKM triple-C dalam agenda Study Club nanti mal...

PROFIL FKIS

SAIFUL IHWAN. Powered by Blogger.

Cari Makalah FKis

WAWAN JR

WAWAN JR
Mahasiswa Hukum Bisnis Syariah di Kampus Universitas Trunojoyo Madura

Postingan Populer

Postingan Favorit

Blog Archive