Madzhab Fiqh Sunni yang Masih Eksis
Makalah Ini
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Muqaranah Al-Madzahib Pada Program
Studi Hukum Bisnis Syari’ah
Dosen Pengampu
: Ahmad Musadad, S.H.I., M.S.I.
Disusun Oleh:
Kelompok 3
1. Saiful Ihwan (150711100003)
2. Choirotun Nasukha (150711100024)
3. Nurul Izzati (150711100044)
PROGRAM STUDI
HUKUM BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO
MADURA
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb.
Segala puja
dan puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami untuk memenuhi tugas Muqarah Al-Madzahib mengenai
Madzhab Fiqh Sunni yang Masih Eksis.
Pada
kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini. Kami juga ingin mengucapkan
terima kasih pada teman-teman seperjuangan yang juga selalu memberikan
motivasi, baik berupa sharing pendapat, motivasi dan hal-hal lainnya dalam
rangka pembuatan makalah ini.
Kami sangat
menyadari tidak ada manusia yang sempurna begitu juga dalam penulisan makalah
ini, apabila nantinya terdapat kekurangan, kesalahan dalam makalah ini, kami
selaku penulis sangat berharap kepada seluruh pihak agar dapat memberikan
kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua baik dari kami selaku penulis dan para
pembaca.
Wassalamu’alaikum
wr.wb.
Bangkalan, 26 September 2017
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kedudukan Al-Qur’an sebagai dalil
utama dengan bentuk pengaturan yang secara global memerlukan penjelasan. Semasa
Rasulullah masih hidup, hal ini tidaklah menjadi persoalan, karena Rasulullah
adalah orang yang diberi wewenang penuh untuk memberikan penjelasan terhadap wahyu
Allah dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang disebut sunnah.
Untuk menjawab persoalan-persoalan
yang muncul belakangan, lahirlah para ahli fatwa. Mula-mula tugas ini dipegang
oleh khulafa’ al rasyidin, kemudian para sahabat rasul yang lainnya. Dalam
berfatwa, mereka mendasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dan jika dihadapkan
pada masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Quran maupun
Sunnah, mereka melakukan musyawarah dan mengadakan dialog diantara mereka
sendiri untuk mencapai kesepakatan hukum.
Maka wajar jika fatwa-fatwa
tersebut memiliki watak kedaerahan yang menjawab berbagai tuntutan masyarakat
sebagai realisasi bahwa hukum-hukum dan aturan-aturan adalah refleksi
perkembangan masyarakat sesuai dengan kondisi masing-masing dan fatwa ini
diikuti dan dipertahankan oleh para penganutnya yang menjadikan cikal bakal
terbentuknya madzhab dalam fiqh Islam.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana biogarafi, sejarah, metode istinbat,
serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Hanafi?
2.
Bagaimana biogarafi, sejarah, metode istinbat,
serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Maliki?
3.
Bagaimana biogarafi, sejarah, metode istinbat,
serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Syafi’i?
4.
Bagaimana biogarafi, sejarah, metode istinbat,
serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Hanbali?
C. Tujuan
1.
Agar pembaca mengetahui tentang biogarafi,
sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Hanafi.
2.
Agar pembaca mengetahui tentang biogarafi,
sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Maliki.
3.
Agar pembaca mengetahui tentang biogarafi,
sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Syafi’i.
4.
Agar pembaca mengetahui tentang biogarafi,
sejarah, metode istinbat, serta hasil pemikiran (muamalah) madzhab Hanbali.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Madzhab
Hanafi (80-150 H)
Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit
bin Zufi At Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian keluarga dengan Imam Ali
bin Abi Thalib ra. Beliau dilahirkan di Kuffah pada masa pemerintahan Khalifah
Al-Qalid bin Abdul Malik dan meninggal 150 H. Imam Abu Hanifah memulakan
kehidapannya sebagai peniaga sutera akan tetapi berpindah untuk menuntut ilmu
dan berguru dengan ulama-ulama terkenal pada masa itu seperti Al Syaikh Humad
bin Abi Sulaiman yang telah mewarisi ilmu dari Abdullah bin Mas’ud seorang
sahabat yang terkenal dalam bidang fiqih dan Ra’yi. Selain dari itu Abu Hanifah
juga berguru dengan Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin dan Ja’far al-Sadiq.
Kebudayaan dan peradaban masyarakat
Kuffah pun menjadi salah satu faktor mengapa Abu Hanifah banyak menggunakan
ijtihad dan akal fikiran. Penduduk Kuffah sering dihadapkan pada berbagai
persoalan hidup berikut problematikanya yang beraneka ragam. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut para fuqaha Kuffah terpaksa memakai ijtihad dan
akal.
Selain itu Abu Hanifah adalah
seorang ulama’ ahli ilmu kalam (teologi), beliau juga mahir dalam bidang
perdagangan. Keluasan ilmu yang beliau miliki inilah yang menjadikannya seorang
rasionalis. Manhaj (metodologi) Abu Hanifah dalam fiqh jelas, beliau akan
mengembalikan segala persoalan kepada Al-Qur’an kemudian Sunnah dan pendapat
para sahabat Nabi, al-Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’, dan Urf.
Ijtihad telah dibenarkan sejak
zaman Nabi, ketika Rasulullah saw mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman beliau
bertanya: “bagaimana cara engkau dalam berhukum?”, dengan merujuk kepada kitab
Allah, “bagaiamana kalau tidak ada dalam kitab Allah?”, maka dengan merujuk
kepada Sunnah Rasulullah, “bagaimana kalu tidak ada?”, maka aku akan berijtihad
dengan betul. Dalam hadits yang lain Nabi bersabda: “Apabila seorang mujtahid
berijtihad dan betul ijtihadnya maka dia akan mendapat dua pahala, apabila
salah maka dia akan mendapat satu pahala.”
Imam Abu Hanifah banyak dikritik
ulama lain karena dikatakan telah mengutamakan pendapat (ra’yu) daripada
hadits, hal ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa beliau lebih banyak
menggunakan pendapatnya sendiri daripada hadits karena pada masa itu penipuan
hadits sangat berleluasa dan beliau takut terambil hadits yang palsu.
Predikat Al Imam Al Adzham
diberikan kepadanya karena keluasan ilmunya. Imam Syafi’i mengatakan
“barangsiapa yang belajar fiqh, maka ia adalah keluarga Abu Hanifah”. Beliau
adalah keturunan Parsi yang lahir di Kuffah, Iraq. Suatu daerah yang jauh dari
Hijaz, tempat wahyu turun, tempat timbulnya hadits dan tempat tinggal para
sahabat Nabi. Diantar muurid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf,
Muhammad bin Hasan, Zufar bin Hujail bin Qais Al Kufi (110-158 H), Muhammad bin
Hasn bin Farqad As-Syaibani (132-189 H), Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al Kufi
Maulana Al Anshari (w. 204 H). Merekalah yang bertangggung jawab menyebarkan
madzhab Hanafi dan memperkuat kedudukan madzhab tersebut. Adapun kitab-kitab
yang terkenal dalam madzhab Hanafi ialah Kitab Al Kafi oleh Imam
Muhammad bin Muhammad Al-Marwazi dan Kitab Al Mabsut oleh Imam Muhmmad
bin Ahmad Al Sharkhasi.
Dengan adanya dukungan ulama-ulama tersebut
maka tersebar luaslah madzhab Hanafi dan ianya telah menjadi madzhab resmi bagi
Khilafah Osmaniayah di Turki. Madzhab Hanafi mulai tumbuh di Kuffah, kemudian
tersebar ke negara-negara Islam bagian timur. Dan sekarang ini madzhab Hanafi
merupakan madzhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan madzhab ini
dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India
dan Tiongkok.[1]
Karakteristik
Madzhab Hanafi
1.
Madzhab Hanafiyah sangat dikenal sebagai
terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqh.
2.
Sangat berhati-hati dalam menerima sebuah
hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka
beliau lebih memilih untuk tidak menggunakannya. Dan sebagai gantinya, beliau
menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan
masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
3.
Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi
keshahihannya di tempat dimana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits
palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa
Imam Abu Hanifah hidup dimasa 100 tahun pertama semenjak wafat Nabi saw, jauh
sebelum era Imam Bukhari dan Imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti
hadits. [2]
Hasil
Pemikiran Madzhab Hanafi dalam Bidang Muamalah
1.
Benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan
wakaf dipandang sama dengan ariyah (pinjam meminjam). Karena masih tetap
milik wakif, maka benda wakaf dapat dijual, diwariskan dan dihibahkan oleh
wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan
berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara
tegas bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal
dunia.
2.
Perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan
yang tugasnya khusus mengenai perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya,
karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, perempuan hanya
dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu menurutnya perempuan hanya
boleh jadi hakim yang menangani perkara perdata.[3]
3.
Dalam syirkah inan pembagian keuntungan yang
tidak sama, meski modal masing-masing pihak sama adalah boleh, jika memang
telah ditentukan demikian. Pembagian keuntungan tidak hanya didasarkan atas
modal, tapi juga atas masa kerja, besarnya tanggung jawab dan lainnya.
4.
Anak kecil yang dibuang oleh orang tuanya dan
ditemukan di dalam gereja atau rumah peribadatan Yahudi, atau disuatu desa
diperkampungan orang-orang dzimmi, maka ia dihukumi sebagai seorang dzimmi
(orang kafir yang dijamin negara Islam).
B. Madzhab
Maliki (93-179 H)
Imam Malik bin Anas Al Asbahi,
berasal dari Yaman dan lahir di Madinah, dan tak pernah meninggalkan Madinah
keculai untu Haji, beliau lebih suka duduk bersebelahan dengan Nabi, walaupun
telah ditawarkan untuk mendampingi Khalifah di Baghdad. Sejak kecil beliu rajin
menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula
beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari itu, ibundanya sendiri mendorong
Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.
Imam Malik hidup dalam sebuah
keluarga yang semuanya adalah ahli hadits, banyak mengetahui atsar sahabat,
hadits dan fatwa-fatwanya. Kakeknya, Malik Ibnu Amir adalah termasuk Tabi’in
besar. Saudara-saudara dan paman-pamannya berkecimpung dalam dunia ilmu dan
fiqh. Sepanjang riwayat yang ada, beliau tidak pernah meninggalkan kota Madinah
dan masyarakat Hijaz. Suatu kehidupan yang sederhana dan jauh dari pengaruh
kebudayaan luar berikut berbagai problemnya. Kehidupan ini lebih dekat dengan
tradisi badawah (kampung). Inilah yang menjadi faktor penting mengapa ia lebih
cenderung memakai hadits dan menjauhi sampai batas tertentu pemakaian rasio
karena Madinah adalah daerah hadits dan tempat tinggal para sahabat Nabi .
Dasar-dasar madzhab Maliki adalah:
1.
Al-Qur’an
2.
Sunnah
3.
Ijma’ ahli Madinah
4.
Qiyas
5.
Istishab
Imam Malik yang banyak berguru dengan para Tabi’in, diantaranya
ialah Ibn Al-Shihab al Zuhri dan Rabi’ah Al Ra’yi, Yahya ibn Said, Abdul Rahman
bin Hurmuz dan lain-lain. Beliau belajar dan mengajar di Masjid Nabawi dan
diantara murid beliau adalah Imam Syafi’i, Al Amin dan Al Ma’mun (putera
Khalifah Harun Ar Rasyid), Abdullah bin Wahb, Abdul Rahman bin Al Qasim, Abul
Hasan Al Qurtubi dan lain-lain.
Imam Malik telah menulis sebuah buku yang dinamakan Al Muwatta’,
buku ini berisi hadits-hadits yang sahih dan mursal, fatwa sahabat dan pendapat
para Tabi’in, dan juga berisi hasil ijtihad Imam Malik sendiri dalam bentuk
qiyas, tafsir, tarjih. Beliau menulis buku tersebut dalam masa empat puluh
tahun, ini adalah merupakan karya terbesar Imam Malik dan merupakan buku
pertama dalam ditulis seumpamanya. Setelah Al-Qur’an dan hadits. Al Muwatta’
ingin dijadikan Kitab dan madzhab resmi bagi Khilafah Abbasiyah masa itu tetapi
Imam Malik dengan tawadu’ menolak permintaan tersebut. Selain Al Muwatta’
kitab yang terkenal dalam madzhab Maliki adalah Al Mudawwanah yang
ditulis oleh murid-murid beliau dan menjadi pegangan resmi pemerintahan Umayyah
di Andalusia Spanyol. Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian
tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan
Kuwait.[4]
Karakteristik Madzhab Maliki
1.
Madzhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk
merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah saw, dan praktek
penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzabnya dengan 20 dasar; Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, Qiyas, amal ahlul Madinah, perkataan sahabat, istihsan,
saddudzara’i, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana.
2.
Madzhab ini kebalikan dari madzhab Al
Hanafiyah. Madzhab Maliki mengandalkan sumber-sumber syariah (Al-Quran Hadits).
Sebab madzhab ini tumbuh dan berkembang di kota Madianah, diamana penduduknya
adalah anak keturunan para sahabat. Imam Malik sanagat meyakini bahwa praktek
ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah saw bisa
diajadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih
pada umumnya.[5]
Hasil Pemikiran Madzhab Maliki
dalam Bidang Muamalah
1.
Dalam syirkah ‘inan, jika modal masing-masing
sama tetapi pembagian keuntungan tidak sama, maka syirkah tersebut menjadi
rusak (batal).
2.
Apabila didapati anak kecil (dibuang orang
tuanya) di dalam negara Islam maka ia dipandang sebagai anak yang merdeka dan
Muslim. Jika sudah baligh ia menolak agama Islam maka ia tidak dapat
ditetapkan sebagai Muslim. Jika tetap enggan, ia boleh dibunuh.
C. Madzhab
Syafi’i (150-204 H)
Imam Abu Abdullah Muhammad bin
Idris al Syafi’i, mempunyai nasab yang bertemu dengan Rasul yaitu dengan datuk
beliau yang bernama Abd Manaf. Beliau lahir di Ghazzah, Palestina, dan wafat di
Mesir. Menimbah ilmu di Mekkah samapi berumur 15 tahun dan diberikan izin
berfatwa, kemudian beliau pindah ke Madinah berguru dengan Imam Malik sampai
wafat, lalu mengembara ke Yaman untuk berguru dengan Yahya bin Hassan Murid
Imam Al Auza’i, beliau ditangkap pada tahun 184 H karena didakwa menentang
pemerintah Abbasiyah dan dibawa ke Baghdad disinilah beliau bertemu dengan Imam Muhammad al
Syaibani dari Madzhab Hanafi, beliau terus mengembara untuk belajar dan
mengembangkan ilmunya samapailah akhirnya beliau mukim di Mesir pada tahun 199
dan meninggal tahun 204 H.
Oleh karena Imam Syafi’i banyak
mengembara dalam menuntut ilmu maka madzhabnya juga merupakan kombinasi dari
beberapa madrasah/ pemikiran dan kecenderungan, beliau mengambil sikap tengah
anatar madrasah ahlul hadits dan madarasah ahlul ra’yi, beliau tidak menolak
hadits ahad yang sahih, dan menolak hadits mursal yang bukan oleh kibar
Tabi’in. Dan beliau menggunakan metode qiyas dalam ijtihadnya, ini berarti beliau
seorang pro ahlul hadits dalam masa yang sama pro ahlul ra’yi.
Imam Syafi’i adalah seorang ahli
hadits yang banyak menghafal hadits dan dalam kaidah fiqhnya hadits adalah
sebagai sharih, muqayyid, mufassil, dan mukhassis kepada Al Qur’an, sumber
ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah adalah Ijma’ dan kemudian perkataan
saahabat. Dan yang terakhir adalah qiyas, dengan ini beliau menolak istihsan
dan istislah atau amal ahli madinah.
Imam Syafi’i adalah ulama’ yang
melakukan kompromi antara fiqh ahli hadits dan ahli ra’yi. Mula-mula beliau
tinggal ditengah masyarakat Mekkah lalu pindah ke Madinah. Keduanya berada di
Hijaz, bumi Sunnah dan Hadits dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana
hingga relatif tak banyak timbul problem kemasyarakatan. Maka wajar sekali jika
Imam Syafi’i cenderung pada aliran ahli hadits, bahkan mengaku sebagai pengikut
madzhab Maliki, karena beliau memang belajar kepada Imam Malik. Tetapi setelah
ia mengembara ke Baghdad, Iraq, dan menetap disana untuk beberapa tahun serta
mempelajari fiqh Abu Hanifah, maka mulailah beliau condong kepada aliran
rasional ini. Apalagi setelah beliau saksikan sendiri bahwa tingginya tingkat
kebudayaan di Iraq sebagai daerah perkotaan menyebabkan aneka macam masalah
hidup berikut keruwetannya. Tidak hanya itu, beliau juga mempelajari faham
mu’tazilah dan syi’ah.
Dasar-dasar madzhab Syafi’i yang
pokok ialah:
1.
Al-Qur’an, tafsir secara lahiriah
2.
Sunnah dari Rasulullah
3.
Ijma
4.
Qiyas
Pengalaman yang diperbolehkan dari berbagai aliran fiqh membuatnya
berwawasan luas. Beliau mengkritik letak kekuatan dan kelemahan, luas dan
sempitnya pandangan masing-masing madzhab. Mula-mula beliau berbeda pendapat
dengan gurunya, Imam Malik, sehingga beliau menulis kitab Khilaf Malik. Tidak
hanya itu, beliau juga mengajukan kritik kepada madzhab Hanafi. Dan
kritik-kritik terhadap kedua madzhab tersebut itulah akhirnya muncul madzhab
baru yang merupakan sintesa antara fiqh ahli hadits dan fiqh ahli ra’yi.
Imam Syafi’i menulis buku tentang Usul Fiqh, kitabnya Ar Risalah
adalah kitab pertama yang membincangakan tentang ilmu itu, dan kitab kedua
adalah kitab al umm yang khusus membicarakan tentang madzhabnya dalam
fiqh. Diantara murid beliau yang tersebar di Iraq dan Mesir diantaranya Al
Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi, Al Hasan bin Muhammad Az Za’farani, Abu Ali Husein
bin Ali Al Karabisi, Isma’il bin Yahya Al Muzni, Abu Ya’qub Al Buwaiti dan Imam
Nawawi. Madzhab beliau pernah menjadi madzhab resmi di Mesir dan Negara-negara
di Asia.
Madzhab Syafi’i samapai saat ini dianut oleh umat umat Islam di:
Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan,
Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo
China, Sunni Rusia dan Yaman.[6]
Karakteristik Madzhab Syafi’i
1.
Mengambil jalan tengah antara pemikiran Fiqh
Imam Hanifah dan Imam Malik, dalam menentukan hujjah. Dasar pijakan adalah Al
Qur’an dan Hadits dengan analisa akliah.
2.
Dasar madzhabnya; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’,
dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai
ijtihad yang bisa salah.
3.
Tidak mengambil istihsan sebagai dasar
madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam
Syafi’i mengatakan “Barangsiapa yang melakukan istihsan, maka ia telah
menciptakan syariah”. Penduduk Baghdad mengatakan “Imam Syafi’i adalah
nashirussunah”.[7]
Hasil
Pemikiran Madzhab Syafi’i dalam Bidang Muamalah
1.
Pemimpin umat Islam harus harus orang Islam
dan non muslim terlindungi. Kriteria pemimpin yang berkualitas yaitu berakal,
dewasa, meredeka, muslim, laki-laki, dapat berijtihad, berkemampuan
manajerial/tadbir, gagah berani, melakukan perbaikan agama.
2.
Hakim perempuan, tidak boleh secara mutlak,
diqiaskan dengan tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin. Syarat hakim yaitu
muslim, dewasa, merdeka, laki-laki, adail, dapat mendengar, melihat, berbicara,
berkecukupan, dan mampu berijtihad.[8]
D. Madzhab
Hanbali (164-241 H)
Imam Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin
Asad Al Syaibani lahir di Baghdad dan mengembarah ke Mekah Madinah., Syam,
Yaman, dan lain-lain untuk menuntut ilmu dan berguru, dan diantara guru beliau
adalah Imam Syafi’i. Beliau amat arif dalam ilmu Sunnah, dan berjayah dalam
menghasilkan sebuah musnad yang mengandung lebih dari 40.000 hadits.
Dalam madzhabnya beliau berpegang
pada lima usul (kaedah), nash dari Al-Qur’an dan Sunna, fatwa sahabat, ijtihad
sahabat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengambil hadits mursal
dan dha’if dan lebih diutamakan daripada qiyas, khususnya dalam hal yang
berkaitan fadhail a’mal (sunnat), dan qiyas sebagai langkah terakhir.
Madzhab ini muncul sebagai reaksi
yang wajar terhadap sikap-sikap keterlaluan sebagian aliran Islam seperti
Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah dan Murji’ah.
Mu’tazilah misalnya, berpendapat
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Faktor inilah yang menyebabkan Ahmad bin Hanbal
berpegang teguh pada hadits dan sunnah. Sikap ini memang berbeda dengan sikap
Imam Syafi’i yang melawan penyelewengan ijtihad dengan memadukan Hadits dan
Ra’yi. Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ijtihad itu sendiri harus dilawan
dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Imam Ahmad tidak pernah menulis
buku tentang madzhabnya, akan tetapi murid-murid beliau mengumpulkan
pendapat-pendapatnya, maka lahirlah buku Al Jami’ oleh Ahmad bin
Muhammad Al Khilaf dan buku Al Mukhtasar Al Khirqi oleh Abul Qasim Umar
bin Husain Al Khirqi dan Sharah buku tersebut oleh Ibn Qudamah Al Maqdisi yang
dinamakan Al Mughni. Diantara pengikut beliaua ialah Imam Ibn Taymiyah
dan Imam Ibn Qayyim Al Jauziyyah.[9]
Karakteristik
Madzhab Hanbali:
1.
Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Qur’an, Sunnah,
fatwa sahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, maslahah mursalah, saddudzara’i.
2.
Madzhab ini muncul sebagai reaksi yang wajar
terhadap sikap-sikap keterlaluan sebagian aliran Islam seperti Syiah, Khawarij,
Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Murji’ah. Mu’tazilah misalnya berpendapat bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk.
3.
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ijtihad itu
sendiri harus dilawan dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah.[10]
Hasil
Pemikiran Madzhab Hanbali dalam Bidang Muamalah
1.
Anak kecil (yang dibuang orang tuanya) yang
ditemukan didalam negara Islam. Yaitu anak kecil yang sudah mumayyiz,
tetapi belum balligh dan berakal, maka keislamannya dipandang sah.
2.
Tidak sah akad nikah dengan tulisan baik dalam
keadaan berjarak jauh atau hadir ditempat karena tulisan itu hanya isyarat.
Jadi, jika wali nikah mengatakan pada calon mempelai laki-laki yang jauh: “saya
nikahkan kamu dengan putriku atau saya nikahkan putriku dengan fulan”, kemudian
menulis surat, dan setelah sampai surat pada mempelai laki-laki. Dia menjawab:
“saya terima”, itu tidak sah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a.
Madzhab Hanafi (80-150 H)
Abu Hanifah
An-Nu’man bin Tsabit bin Zufi At Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian
keluarga dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Beliau dilahirkan di Kuffah pada
masa pemerintahan Khalifah Al-Qalid bin Abdul Malik dan meninggal 150 H.
Karakteristik
Madzhab Hanafi
1.
Madzhab Hanafiyah sangat dikenal sebagai
terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqh.
2.
Sangat berhati-hati dalam menerima sebuah
hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits, maka
beliau lebih memilih untuk tidak menggunakannya. Dan sebagai gantinya, beliau
menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan
masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
3.
Kurang tersedianya hadits yang sudah diseleksi
keshahihannya di tempat dimana beliau tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits
palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa
Imam Abu Hanifah hidup dimasa 100 tahun pertama semenjak wafat Nabi saw, jauh
sebelum era Imam Bukhari dan Imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti
hadits.
b.
Madzhab Maliki (93-179 H)
Imam Malik bin
Anas Al Asbahi, berasal dari Yaman dan lahir di Madinah, dan tak pernah
meninggalkan Madinah keculai untu Haji, beliau lebih suka duduk bersebelahan
dengan Nabi, walaupun telah ditawarkan untuk mendampingi Khalifah di Baghdad.
Sejak kecil beliu rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan, sehingga
sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari itu,
ibundanya sendiri mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.
Karakteristik Madzhab Maliki
1.
Madzhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk
merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah saw, dan praktek
penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzabnya dengan 20 dasar; Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, Qiyas, amal ahlul Madinah, perkataan sahabat, istihsan,
saddudzara’i, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana.
2.
Madzhab ini kebalikan dari madzhab Al Hanafiyah.
Madzhab Maliki mengandalkan sumber-sumber syariah (Al-Quran Hadits). Sebab
madzhab ini tumbuh dan berkembang di kota Madianah, diamana penduduknya adalah
anak keturunan para sahabat. Imam Malik sanagat meyakini bahwa praktek ibadah
yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah saw bisa diajadikan
dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih pada
umumnya.
c.
Madzhab Syafi’i (150-204 H)
Imam Abu
Abdullah Muhammad bin Idris al Syafi’i, mempunyai nasab yang bertemu dengan
Rasul yaitu dengan datuk beliau yang bernama Abd Manaf. Beliau lahir di
Ghazzah, Palestina, dan wafat di Mesir.
Karakteristik
Madzhab Syafi’i
1.
Mengambil jalan tengah antara pemikiran Fiqh
Imam Hanifah dan Imam Malik, dalam menentukan hujjah. Dasar pijakan adalah Al
Qur’an dan Hadits dengan analisa akliah.
2.
Dasar madzhabnya; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’,
dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai
ijtihad yang bisa salah.
3.
Tidak mengambil istihsan sebagai dasar
madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam
Syafi’i mengatakan “Barangsiapa yang melakukan istihsan, maka ia telah
menciptakan syariah”. Penduduk Baghdad mengatakan “Imam Syafi’i adalah
nashirussunah”.
d.
Madzhab Hanbali (164-241 H)
Imam Ahmad bin
Hanbal bin Hilal bin Asad Al Syaibani lahir di Baghdad dan mengembarah ke Mekah
Madinah., Syam, Yaman, dan lain-lain untuk menuntut ilmu dan berguru, dan
diantara guru beliau adalah Imam Syafi’i. Beliau amat arif dalam ilmu Sunnah,
dan berjayah dalam menghasilkan sebuah musnad yang mengandung lebih dari 40.000
hadits.
Karakteristik
Madzhab Hanbali:
1.
Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Qur’an, Sunnah,
fatwa sahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, maslahah mursalah, saddudzara’i.
2.
Madzhab ini muncul sebagai reaksi yang wajar
terhadap sikap-sikap keterlaluan sebagian aliran Islam seperti Syiah, Khawarij,
Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Murji’ah. Mu’tazilah misalnya berpendapat bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk.
3.
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa ijtihad itu
sendiri harus dilawan dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah.
B. Saran
Demikian makalah ini kami tulis,
semoga bermanfaat bagi para pembaca umumnya, dan bagi kami khususnya. Kami
berharap para pembaca yang ingin menulis dengan tema yang kami angkat, tidak
menggunakan makalah ini sebagai acuan tunggal dalam penyusunan makalah
selanjutnya. Dan kami berharap saran dan kritik yang membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
Al-‘Allamah Syaikh bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. 2014. Fiqih Empat Mazhab.
Bandung: Hasyimi.
Nasikin, M.
Lutfillah, DKK. 2008. Ulul Albab Fiqh. Mojokerto: Mutiara Ilmu.
Navis Abdurrahman. 2012. Konsultasi hukum
islam. Surabaya: Nurul Huda press.
Sumber Lain:
http://googleweblight.com/ijtihad-dan-contoh-pemikiran-imam-empat.(diakses
pada hari Sabtu tanggal 23 September 2017 pukul 23.01).
http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Fiqh/madzhab-pemikiran-fiqih-para-imam-madzhab.htm (diakses pada
hari Sabtu tanggal 23 September 2017 pukul 23.16).
[1] Nasikin, M. Luthfillah, DKK, Ulul Albab
Fiqih, (Mojokerto: Mutiara Ilmu, 2008), hlm. 83.
[2] Ibid, hlm. 87-88.
[4] Nasikin, M. Luthfillah, DKK, Ulul Albab
Fiqih, (Mojokerto: Mutiara Ilmu, 2008), hlm. 83-84.
[5] Ibid, hlm. 88.
[6] Nasikin, M. Luthfillah, DKK, Ulul Albab
Fiqih, (Mojokerto: Mutiara Ilmu, 2008), hlm. 84-85.
[7] Ibid, 88.
[9] Nasikin, M. Luthfillah, DKK, Ulul Albab
Fiqih, (Mojokerto: Mutiara Ilmu, 2008), hlm. 85.
[10] Ibid, hlm. 88.
0 komentar:
Post a Comment