Hukum Bisnis Syariah

Wednesday 26 September 2018

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN



Dosen Pengampu :Adiyono, S.H.I., M.H.I.

Oleh :
Saiful Ihwan                           (150711100003)
Rudi Hartono                          (150711100003)
Syamsiyah                              (150711100003)

PROGRAM STUDI HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2017


KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tetap terhaturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang (addinul islam). Karena atas rahmat dan hidayah Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan dalam penyusunan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran sehingga dapat memperbaiki kekurangan yang ada dalam makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi para mahasiswa dan para pembaca pada umumnya.






Bangkalan, 08 Setember2017




                                                                                                Penulis


A.     
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................... 1
B.    Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.    Tujuan Masalah.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Subyek dan obyek PPN........................................................................
B.    PPnBM.................................................................................................
C.    Badan pemungut dan cara Menghitung PPN, PPnBM..........................
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ..................................................................................... 14
B.    Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 17


BAB I
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang
Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan Hakim. Hal ini dapat tercapai jika putusan Hakim dapat dilaksanakan.
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu Negara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau Rbg. Bagi setiaporang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi,harus merujuk ke dalam aturan perundang-undangan yang diatur dalam HIR atau Rbg.
Di dalam membicarakan pengertian eksekusi, akan dicoba menjelaskan beberapa hal yang erat kaitannya dengan pemahaman pengertian eksekusi itu sendiri.
B.    Rumusan Masalah
1.     Seperti apakah yang dimaksud dengan Eksekusi?
2.     Apa saja jenis-jenis Eksekusi?
3.     Apa saja prinsip-prinsip Ekskusi?
4.     Bagaimana Prosedur dan mekanisme eksekusi di pengadilan agama?
5.     Apa Saja Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan putusan peradilan agama terutama dalam perkara perceraian dan perkawinan?
C.    Tujuan Masalah
1.     Untuk mengetahui  yang dimaksud dengan Eksekusi.
2.     Untuk mengetahui  jenis-jenis Eksekusi.
3.     Untuk mengetahui  prinsip-prinsip Ekskusi.
4.     Untuk mengetahui  Prosedur dan mekanisme eksekusi di pengadilan agama.
5.     Untuk mengetahui  Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan putusan peradilan agama terutama dalam perkara perceraian dan perkawinan
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Eksekusi
Secara etimologi eksekusi berasal dari bahasa Belanda yang berarti menjalankan putusan hakim atau pelaksanaan putusan hakim atau pelaksanaan putusan (tenuivtvor leggin van vanissen) secara terminologi eksekusi adalah melakukan putusan (vonis) pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[1]
Eksekusi menurut M. Yahya H. Adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan tata aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.[2]
Menurut Prof. R. Subekti adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, diataati secara sukarela oleh pihak yang bersengeketa. Jadi makna dalam perkataan, eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus menaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah poilisi  bahkan kalau perlu militer  (angkatan bersenjata).
Pengertian Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan. Dalam Pasal 195 HIR/Pasal 207 RBG dikatakan: Hal menjalankan Putusan Pengadilan Negeri dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah atas perintah dan tugas Pimpinan ketua Pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal HIR. Selanjutnya dalam Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBG dikatakan: Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi amar Putusan Pengadilan dengan damai maka pihak yang menang dalam perkara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjalankan Putusan Pengadilan itu. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah dalam hukum serta melakukan teguran (aanmaning) agar pihak yang kalah dalam perkara memenuhi amar putusan pengadilan dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari. Dengan demikian, pengertian eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya[3]. Eksekusi dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila terlebih dahulu ada permohonan dari pihak yang menang dalam perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri agar Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebelum menjalankan eksekusi Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) kepada pihak yang kalah dalam perkara agardalam waktu 8 (delapan) hari sesudah Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) maka pihak yang kalah dalam perkara harus mematuhi Amar Putusan Pengadilan dan apabila telah lewat 8 (delapan) hari ternyata pihak yang kalah dalam perkara tidak mau melaksanakan Putusan Pengadilan tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintah Panitera/Jurusita Pengadilan Negeri untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek tanah terperkara dan kemudian dapat meminta bantuan alat-alat negara/kepolisian untuk membantu pengamanan dalam hal pengosongan yang dilakukan atas objek tanah terperkara.





B.    Jenis-jenis Eksekusi
a.      Dengan Sukarela.
Artinya pihak yang dikalahkan melaksanakan sendiri putusan Pengadilan tanpa ada paksaan dari pihak lain
b.     Dengan Paksaan.
Yaitu menjalankan putusan Pengadilan, yang merupakan suatu  tindakan hukum  dan dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah disebabkan ia tidak mau menjalankan putusan secara suka rela.

            Pada dasarnya ada 2 bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut eksekusi riil, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi seperti ini selalu disebut eksekusi pembayaran uang [4]. Demikian juga dalam praktek peradilan agama dikenal 2 macam eksekusi, yaitu eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal 218 ayat (2) R.Bg, dan Pasal 1033 Rv, yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu. Dan eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR/Pasal 215 R.Bg[7]).
a. Eksekusi Riil.
Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.
b. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang.
Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR/208 R.Bg). Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan
C.    Prinsip Eksekusi
1.      Putusan hakim yang akan di eksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti antara para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya hukum (Rachtsmiddel), yakni: 3
a.        Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding;
b.        Putusan Makamah Agung (kasasi/PK).
c.        Putusan verstek yang tidak diajukan verzet.
Sebagai pengecualian dari asas di atas adalah:
a.       Putusan serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad).
b.      Putusan provisi.
c.       Putusan perdamaian.
d.      Grose akta hipotik/pengakuan hutang.
2.        Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah bersifat menghukum (condemnatoir). Maksudnya, pada putusan yang bersifat menghukum adalah terwujud dari adanya perkara yang berbentuk yurisdictio contentiosa (bukan yurisdictio voluntaria), dengan bercirikan, bahwa perkara bersifat sengketa (bersifat partai) dimana ada pengugat dan ada tergugat, proses pemeriksaannya secara berlawanan antara penggugat dan tergugat (Contradictoir). Misalnya amar putusan yang berbunyi :
a.        Menghukum atau memerintahkan menyerahkan  sesuatu barang.
b.       Menghukum atau memerintahkan  pengosongan  sebidang  tanah atau rumah.
c.       Menghukum atau memerintahkan  melakukan  suatu perbuatan tertentu.
d.       Menghukum atau memerintahkan  penghentian  suatu perbuatan atau keadaan.
e.        Menghukum atau memerintahkan  melakukan  pembayaran sejumlah uang[5].
3.      Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela. Maksudnya, bahwa tergugat sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak bersedia melaksanakan amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat bersedia melaksanakan amar putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya tindakan eksekusi sudah tidak diperlukan lagi.
4.      Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama Pasal 195 Ayat (1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg. Maksudnya, bahwa pengadilan tingkat banding dengan Mahkamah Agung tidaklah mempunyai kewenangan untuk itu, sekaligus terhadap putusannya sendiri, sehingga kewenangan tersebut berada pada ketua pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama/pengadilan negeri) yang bersangkutan dari sejak awal hingga akhir (dari aanmaning hingga penyerahan barang kepada penggugat).
5.       Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan. Maksudnya, apa yang dibunyikan oleh amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi tidak boleh menyimpang dari amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi diantaranya ditentukan pula oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang didasari pertimbangan hukum sebagai argumentasi hakim.

D.    Prosedur Dan Mekanisme Eksekusi Di Pengadilan Agama

E.    Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Putusan Peradilan Agama Terutama Dalam Perkara Perceraian Dan Perkawinan.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.     Peradilan Agama Pasca UU Perkawinan 1974
Pada tahun 1974 diundangkan UU Perkawinan. Setelah Melalui perjuangan dan perdebatan panjang, akhirnya RUU Perkawinan dapat dilakukan perubahan-perubahan yang sangat mendasar dan tidak lagi bertentangan dengan hukum syariah Islam. Akhirnya pada 2 januari 1974 RUU Perkawinan tersebut disahkan dan diundangkan oleh presiden Menjadi UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan diundangkannnya UU perkawinan ini berarti hukum Islam dan lembaga-lembaga  hukum Islam di bidang perkawinan menjadi hukum positif yang berlaku bagi umat Islam. Mengenai kompetensi peradilan Agama diatur dalam Pasal 63 ayat (1) UU. No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa:
a.      Pengadilan agama bagi mereka beragama islam dan,
b.     Pengadilan umum bagi lainnya.
UU ini mulai berlaku efektif terhitung mulai tanggal 1 Oktober 1975. Dengan berlakunya UU Perkawinan  tersebut, maka kompetensi Peradilan Agama dibidang perkawinan  dipulihkan kembali dan hal ini merupakan titik awal pemulihan kembali kompetensi peradilan agama dimasa-masa selanjutnya.
2.     Peradilan Agama Pasca UU Mahkamah Agung 1985
Pada Tahun 1985 diundangkan UU No. 14 Tahun 1985 tanggal 30 Desember1985 tentang Mahkamah Agung. Dengan UU ini, maka secara yuridis Mahkamah Agung juga merupakan Pengadilan Negara Tinggi, baik untuk mengadili sengketa pengadilan Agama maupun pengadilan agama lain yang berada dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi Agama yang berbeda.
Pada tahun 1987  dikeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1987 tanggal Oktober 1987 tentang Wali Nikah. PMA ini memperteguh kedudukan peradilan Agama karena didalamnya, yaitu pada pasal 3 terdapat pelimpahan kewenangan untuk menetapkan adhalnya wali.  Hal ini menambah luas kewenangan di Indonesia.
3.     Pro dan kontra RUU Peradilan Agama
Sejak dibahas di DPR-RI, RUU-PA ini telah menarik perhatian masyarakat luas dan menimbulkan kontroversi.Franz Magnis menentang keras RUU-PA tersebut. S. Wijoyo dan P. J. Suwarno memberikan tanggapan yang senada.Dia mempertanyakan kehadiran RUU-PA yang dinilainya bertentangan dengan hak asasi manusia, seperti dengan hak pindah agama, perkawinan beda agama, warisan anak yang tidak beragama Islam dari orang tuanya yang beragama Islam. Mengapa tidak memakai hukum adat saja sebagai alternatif. Sementara itu di pihak lain banyak yang mendukung RUU-PA tersebut, terutama dari kalangan umat Islam yang secara relegius konstitusional membutuhkan adanya Peradilan Agama guna memenuhi perkembangan kebutuhan hukum mereka. Heru Susanto memberikan tanggapan (Pelita, 27 Juni 1989) atas pendapat Franz Magniz Suseno dengan menilai bahwa Franz Magniz trauma berlebihan atas masa lalunya dengan menyembunyikan kecurigaan. Franz Magniz tidak melihat bahwa yang namanya agama dalam Islam bukan hanya masalah ibadah saja, tetapi juga hukum-hukum keluarga dan hukum waris. Semua itu dijamin oleh pemerintah.H.M Rasyidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama, memberikan tanggapan juga atas pro dan kontra RUU Peradilan Agama terutama menanggapi pendapat Franz Magnis Suseno.
Namun demikian, pandangan Franz Magniz tersebut di tahun 2006 telah berubah. Ahmad Gunaryo menuturkan bahwa Franz Magniz mengemukakan bahwa dirinya mencabut seluruh keterangannya yang pernah diberikan atau dipublikasikan menyangkut Peradilan Agama. Dalam kata-katanya sendiri dia mengubah pandangan lamanya dengan pandangan baru dengan menyatakan bahwa:
Saya mencabut seluruh pendapat saya yang menyangkut Peradilan Agama. Saya menyadari kebodohan saya saat itu. Bagi saya kalau memang suatu umat membutuhkan akan keberlakuan hukum agamanya untuk dirinya sendiri, mengapa tidak.
Setelah melaui perjuangan panjang dan perdebatan yang alot, akhirnya upaya untuk memiliki UU-PA tersebut mendapat jalan lapang pada tahun 1989.
4.     Kedudukan PA dalam UU No. 7/1989
Dengan diundangkannya UU, maka Peradilan Agama telah mengalami banyak kemajuan yang dicapai, antara lain:
a.      Terciptanya penyederhanaan dan penyatuan dasar hukum Peradilan Agama.
b.     Terciptanya Kedudukan hukum Peradilan Agama yang sederajat dengan Peradilan Umum.
c.      Terciptanya penyatuan penyebutan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, yakni Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding.
5.     Kelemahan-kelemahan PA dalam UU 7/1989
Secara teoritis, setiap UU sebagai hukum positif seharusnya memiliki sifat-sifat sempurna sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu : (1) Comprehensive(2) All-inclusive(3) Sistematic. Namun setelah dikaji ulang, UU PA tersebut pada kenyataannya juga masih terdapat beberapa kelemahan-kelemahan atau kekurangan, antara lain;
a.      Bidang kedudukan protokol hakim ternyata belum sepenuhnya sejajar dengan badan peradilan lainnya dan dengan lembaga negara yang lain yang setingkat.
b.     Bidang susunan organisasi Peradilan Agama yang ternyata belum memenuhi kebutuhan guna mendukung tugas pokok dan fungsi Pengadilan sebagai sebuah instansi.
c.      Bidang kompetensi pengadilan agama yang ternyata belum menjangkau seluruh bidang hukum syariah Islam.




DAFTAR PUSTAKA

Arto, Mukti. 2012. Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Kajian Historis, Filosofis, Ideologis, Yuridis, Futuristis, dan Pragmatis). Yogyakarta: Pustaka Pelajar




[1] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika) 2010, hlm. 142
[2] M. Yahya Harahap, S.H., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : PT Gramadia, 1991), hlm.1
[3]  M. Yahya Harahap, SH – Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1991, Hal. 5.

[4] M. Yahya Harahap, 1988: 20
[5] M. Yahya Harahap, SH – Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1991, Hal. 13
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

Assalamualaikum Wr. Wb. 🙏🏻 Salam Creative 🌹 Undangan Terbuka Untuk seluruh Keluarga UKM triple-C dalam agenda Study Club nanti mal...

PROFIL FKIS

SAIFUL IHWAN. Powered by Blogger.

Cari Makalah FKis

WAWAN JR

WAWAN JR
Mahasiswa Hukum Bisnis Syariah di Kampus Universitas Trunojoyo Madura

Postingan Populer

Postingan Favorit

Blog Archive