Hukum Bisnis Syariah

Wednesday 26 September 2018

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA


PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Ekonomi Islam



Dosen Pengampu :Ach. Mus’if, S.HI, M.A

Di Susun Oleh : Kelompok 5

1.    Saiful ihwan                (150711100003)
2.    Ainul Yaqin                 (150711100024)
3.    Ana Lailatur R                        (150711100012)



HUKUM BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2017


KATA PENGANTAR

            Maha Besar Allah yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk hidup yang terbaik di muka bumi ini.Manusia berkewajiban untuk berbuat sesuatu yang bermakna sesuai dengan kedudukannya yang terhormat itu, agar kehidupannya tidak menjadi sia-sia.Makalah ini merupakan bagian dari keikutsertaan penulis dalam membarikan makna bagi kehidupan dalam rangka mewujudkan firman Allah SWT tersebut.
Dalam mengawali penulisan makalah ini Dengan Judul Peradilan Agama Di Indonesia, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat,karunia, dan perlindungan-Nya selama penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa uraian di dalam makalah ini bukanlah sesuatu yang sempurna,dan penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini ada kekurangan dan kekeliruan,oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan pembaca untuk menyampaikan suatu kritik ataupun saran yang akan membuat makalah ini menjadi hal yang dapat di minati oleh pembaca.
            Untuk itu penulis berdo’a kehadirat Allah SWT , semoga makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat untuk semua kalangan, khususnya untuk mahasiswa Hukum Bisnis Syari’ah.



Bangkalan, 28 September  2017

                                                                                               
Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................ .3
B.    Rumusan Masalah................................................................................... .3
C.    Tujuan Makalah...................................................................................... .3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Kedudukan Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia ................. 4
B.    Fungsi Peradilan Agama di Indonesia .............................................. 11
C.    Ruang Lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Islam............................................................................................................ 12
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan....................................................................................... 17
B.    Saran.................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 18





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Peradilan agama merupakan pranata sosioal hukum Islam. Keberadaannya telah ada jauh sebelum Negara Republik Indonesia merdeka. Meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan penamaan yang berbeda-beda, namun eksistensinya tetap dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia. Hal ini karena peradilan agama tidak hanya menjadi jalan terakhir dalam penyelesaian suatu sengketa hususnya dalam sengketa Ekonomi yang terjadi pada masyarakat muslim, namun sekaligus juga sebagai penjaga eksistensi dan keberlangsungan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia.
Meskipun secara normatif keberadaannya merupakan sebuah keharusan dalam komunitas masyarakat muslim Indonesia, akan tetapi mengingat Indonesia bukan merupakan negara Islam, maka keberadaannya tidak dapat dilepaskan dengan paradigma sistem dan dinamika hukum yang terjadi serta berkembang di negara hukum Indonesia.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih rincimengenai Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia,  Fungsi Peradilan Agama di Indonesia , Kewenangan Peradilan Agama di Indonesiadan Ruang Lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Islam
B.    Rumusan Msalah
1.     Bagaimana Kedudukan, Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia ?
2.     Apa saja Fungsi Peradilan Agama di Indonesia ?
3.     Apa saja Ruang Lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Islam ?
C.    Tujuan
1.     Untuk mengetahui kedudukan, Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia .
2.     Untuk mengetahui Fungsi Peradilan Agama di Indonesia.
3.     Untuk mengetahui Ruang Lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Islam .


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Kedudukan,  Wewenang Peradilan Agama di Indonesia
a.     Kedudukan
Peradilan agama dalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan, yaitu peradilan syariat islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
      Peradilan agama terdiri atas:
a.      Pengadilan Agama (PA) sebagai pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di ibukota madya/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota, tetapi tidak menutup kemungkinanadanya pengecualian.
b.     Penggadilan Tinggi Agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi[1].
Mahkamah Agung (MA) merupakan pengadilan negar tertinggi dari keempat lingkungan peradilan, yaitu peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara. MA merupakan peradilan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negeri RI, yaitu di Jakarta. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang ada di bawahnya.
Dengan berlakunya prinsip satu atap, organisasi, adsmintarasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang telah berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, termasuk di dalamnya pengawasan dan pembinaan teknis. Akan tetapi, pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Pengalihan peradilan agama dari Dapertemen Agama ke MA pada tanggal 30 juni 2004, sebagaimana ketentuan pasal 42 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman jo. Keppres No. 21 tahun 2004 tentang pengalihan oraganisasi, adsmitrasi, dan finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung dan pasal 5 UU No.3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama.
Tujuan pembinaaan satu atap peradilan adlah agar kekuasaan kehakiman dapat diselenggarakan dengan merdeka, mandiri, bertanggung jawab tidak terpengaruh oleh pihak eksekutif dan/atau pihak lainnya, dan pembinaan peradilan menjadi lebih baik, terpadu, dan berada dalam satu komando [2].
b.     Wewenang
Wewenang pengadilan agama berdasarkan berdasarkan pasal 49 Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama adalah:
A.    Perkawinan
Dalam perkawinan wewenang Pengadilan Agama diatur dala atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlakuyang dilakukan menurut syariah, antara lain:
1.     Izin beristri lebih dari satu orang;
2.     Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3.     Dispensasi kawin;
4.     Pencegahan perkawinan;
5.     Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatatan nikah;
6.     Pembatalan perkawinan;
7.     Gugatan kelalaian atas kewajiban suami istri;
8.     Perceraian karena talak;
9.     Gugatan perceraian;
10.  Penyelesaian harta bersama;
11.  Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidsk memnuhinya;
12.  Penguasaan anak-anak;
13.  Penentuan kewajibna pemberi biaya kehidupan oleh suami kepada bekas istri;
14.  Putusan tentang sah tidaknya seorang anak
15.  Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.  Pencabutan kekuasaan wali;
17.  Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam kekuasaan seorang wali dicabut;
18.  Penunjukan seorang wali dalam hal anak belum cukup 18 (delapan belas tahun) yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19.  Pembebanan kewajiban  ganti kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20.  Penetapan asal usul seorang anak dan pendapatan pengangkatan anak berdasarkan hhukum islam;
21.  Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur; dan
22.  Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi seelum Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
B.    Waris
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama disebutkan berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut :
1.    Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
2.    Penentuan mengenai harta peninggalan;
3.    Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
4.    Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
5.    Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang
Penentuan siapa yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian-bagiannya.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergun
akan dalam pembagian warisan”. Kini, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang tersebut, kalimat itu dinyatakan dihapus. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan berdasarkan hukum Islam, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Selanjutnya dikemukakan pula mengenai keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh wilayah nusantara yang selama ini berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar hukumnya.
 Selain dari itu, berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang untuk menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang agama yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
C.    Wasiat
Mengenai wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Peradilan Agama dijelaskan bahwa definisi wasiat adalah: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.” Namun, Undang-Undang tersebut tidak mengatur lebih jauh tentang wasiat. Ketentuan lebih detail diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI, wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.
Ketentuan mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat orang membuat wasiat, harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai berlaku, di mana wasiat dilakukan, seberapa banyak maksimal wasiat dapat diberikan, bagaimana kedudukan wasiat kepada ahli waris, dalam wasiat harus disebut dengan jelas siapa yang akan menerima harta benda wasiat, kapan wasiat batal, wasiat mengenai hasil investasi, pencabutan wasiat, bagaimana jika harta wasiat menyusut, wasiat melebihi sepertiga sedang ahli waris tidak setuju, di mana surat wasiat disimpan, bagaimana jika wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat meninggal dunia, wasiat dalam kondisi perang, wasiat dalam perjalanan, kepada siapa tidak diperbolehkan wasiat, bagi siapa wasiat tidak berlaku, wasiat wajibah bagi orang tua angkat dan besarnya, dan wasiat wajibah bagi anak angkat serta besarnya.
D.    Hibah
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi tentang hibah sebagai: “pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”
 Hibah juga tidak diregulasi secara rinci dalam Undang-Undang a quo.  Ia secara garis besar diatur dalam KHI, dengan menempati bab VI, dan hanya diatur dalam lima pasal. Secara garis besar pasal-pasal ini berisi: Subjek hukum hibah, besarnya hibah, di mana hibah dilakukan, harta benda yang dihibahkan, hibah orang tua kepada anak, kapan hibah harus mendapat persetujuan ahli waris, dan hibah yang dilakukan di luar wilayah Republik Indonesia.


E.     Wakaf
Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dimaknai sebagai: “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.” Tentang wakaf ini tidak dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih luas tercantum dalam KHI, Buku III, Bab I hingga Bab V, yang mencakup 14 pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur: Ketentuan umum, yaitu definisi wakaf, wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf; fungsi wakaf; subjek hukum yang dapat mewakafkan harta bendanya; syarat benda wakaf; prosedur mewakafkan; syarat-syarat nadzir; kewajiban dan hak-hak nadzir; pendaftaran benda wakaf; perubahan, penyelesaian danpengawasan benda wakaf. Khusus mengenai perwakafan tanah milik, KHI tidak mengaturnya. Ia telah diregulasi empat tahun sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977, lembaran negara No. 38 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
F.     Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. KHI tidak menyinggung pengaturan zakat.
 Regulasi mengenai zakat telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Lembaran Negara Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis besar, isi Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk campur tangan dalam bidang zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan zakat; organisasi pengelolaan zakat; pengumpulan zakat; pendayagunaan zakat; pengawasan pengelolaan zakat; dan sanksi terhadap pelanggaran regulasi pengelolaan zakat.
G.    Infaq
Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan dengan: “perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlash, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
 Kewenangan Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini juga tak diatur lebih lanjut.
H.    Shadaqah
Mengenai shadaqah diartikan sebagai: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah dan pahala semata.”
Sama seperti infaq, shadaqah juga tidak diatur dalam regulasi khusus. Dan hingga kini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
I.       Ekonomi Syariah
Ekonomi syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah.”
Kewenangan itu antara lain:
1.     Bank Syari’ah;
2.     Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah;
3.     Asuransi Syari’ah;
4.     Reasuransi Syari’ah;
5.     Reksadana Syari’ah;
6.     Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah;
7.     Sekuritas Syari’ah;
8.     Pembiayaan Syari’ah;
9.     Pegadaian Syari’ah;
10.  Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah; dan
11.  Bisnis Syari’ah[3].
B.      Fungsi Peradilan Agama di Indonesia
Adapun fungsi Peradilan Agama di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.     Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (Pasal 49  Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006).
2.      Fungsi pembinaan, yakni memberikan  pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
3.     Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti  di bawah jajarannya agar  peradilan diselenggarakan dengan seksama  dan sewajarnya (Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
4.      Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).
5.     Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengakapan) (KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
6.      Fungsi Lainnya : 
a.      Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti KEMENAG, MUI, Ormas Islam dan lain lain (Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006). 
b.     Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua  Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. [4]
C.    Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Islam
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan  Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 menentukan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan memutus sengketa tentang ekonomi Syariah. Penjelasan Pasal 49 menyebutkan rincian bidangbidang yang termasuk dalam lingkup ekonomi Syariah adalah 11 bidang.  Adapun yang dimaksud dengan Ekonomi Syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara lain meliputi : bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, penggadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Penyebutan 11 bidang tersebut di atas, tentulah tidak bersifat limitatif   hal ini dikarenakan sebelumnya didahului oleh kata ‘antara lain’, sehingga tentunya tidak tertutup kemungkinan diluar 11 bidang dimaksud masih ada bidang kegiatan ekonomi Syariah lainnya yang masuk. Demikian misalnya masih terbuka pada bentuk kegiatan usaha seperti perusahaan Syariah, kepailitan Syariah, persaingan usaha Syariah, dan lain sebagainya. Walaupun menurut  Abdurrahman (Hakim  pada Mahkamah Agung Republik Indonesia), hal- hal tersebut dalam kaitannya dengan kewenangan Peradilan Agama masih terdapat perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat menyangkut bidang yang belum disebutkan dalam 11 bidang dimaksud tentu selalu saja menimbulkan pertanyaan apakah Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya atau tidak. Tetapi berangkat dari Penjelasan Pasal 49 tersebut di atas, yang tidak memberikan pengecualiaan maka lingkup kewenangan Peradilan Agama bidang ekonomi Syariah adalah meliputi seluruh perbuatan  atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Syariah. Dalam rancangan semula kewenangan ini hanya terbatas pada persoalan Perbankan Syariah, tetapi kemudian ditambah menjadi ekonomi Syariah.
Karenanya, dalam Penjelasan Pasal 49 tersebut dikatakan bahwa penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang Perbankan Syariah melainkan juga di bidang ekonomi Syariah lainnya. Pengertian tentang Prinsip Syariah mengalami perubahan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,  sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 12 bahwa “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang Syariah”. Disamping itu Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya disamping berasaskan
Prinsip Syariah juga berasaskan kepada demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Hal ini tertera dalam Pasal 2 dan dalam Penjelasannya menyebutkan bahwa kegiatan usaha yang berasaskan prinsip Syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur :
a.      Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl) atau dalam transaksi pinjammeminjam yang memberikan  syarat kepada Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b.     Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
c.      Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaanya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
d.     Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;
e.      Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Yang dimaksud   ‘demokrasi ekonomi’ adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Yang dimaksud dengan ‘prinsip kehati-hatian’ adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut Pasal 26 menegaskan bahwa :
1.     Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.
2.      Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
3.      Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
4.     Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia membentuk komite Perbankan Syariah.
5.     Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas Komite Perbankan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat  (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Penegasan  Prinsip Syariah sebagaimana di atas, tentu tidak hanya dapat diberlakukan pada kegiatan usaha terkait Perbankan Syariah, tetapi juga dapat diimplementasikan pada berbagai transaksi ekonomi Syariah di luar Perbankan Syariah, asalkan transaksi ekonomi tersebut masuk dalam lingkup ekonomi Syariah. Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka semua perkara atau sengketa ekonomi Syariah di bidang perdata merupakan kewenangan mutlak lingkungan Peradilan Agama untuk menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, kecuali kalau secara tegas ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.[5]





BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan
a.      Pengadilan Agama (PA) sebagai pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di ibukota madya/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota, tetapi tidak menutup kemungkinanadanya pengecualian.
b.     Penggadilan Tinggi Agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi[6].
Mahkamah Agung (MA) merupakan pengadilan negar tertinggi dari keempat lingkungan peradilan, yaitu peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.
Wewenang pengadilan agama berdasarkan berdasarkan pasal 49 Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama adalah: Perkawinan,Waris,Wasiat, Hibah,Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, Ekonomi Syariah
Fungsi perdilan agama indonesia yaitu : Fungsi mengadili (judicial power),  Fungsi pembinaan ,Fungsi pengawasan  Fungsi nasehat, Fungsi administratif dan juga mempunyai fungsi lain diantarnya:
  1. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti KEMENAG, MUI, Ormas Islam dan lain lain (Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006). 
  2. Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua  Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Islam dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan  Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 menentukan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan memutus sengketa tentang ekonomi Syariah.
      Adapun yang dimaksud dengan Ekonomi Syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara lain meliputi : Bank syari’ah, Lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, penggadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah
B.     Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk itu penulis mengharapkan kepada pembaca untuk dapat memberikan kritik dan sarannya demi kemajuan penulisan makalah selanjutnya.     




DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 30 Agustus 2010.  Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia. Banjarmasin: Makalah Orasi Ilmiah disampaikan pada Pembukaan Kuliah Fakultas Syariah IAIN Antasari.
Mardani. 2010. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariyah. Jakarta: sinar grafika

Suharjo Jojo, 2011. jurnal Peradilan Agama. brebes: PA-Brebes.
Sumber lain:
 http://paandoolo.go.id (diakses pada hari sabtu, pukul: 19.33, tanggal 30 bulan September 2017).









[1] Madani,”Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariyah”, (Jakarta: Sinar Grafika ), 2010, hlm. 25
[2] Ibid, hlm: 66
[4] [4] Jojo Suharjo,” Peradilan Agama”, (brebes), hlm: 5-6
[5] bid, hlm: 25-26
[6] Madani,”Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariyah”, (Jakarta: Sinar Grafika ), 2010, hlm. 25
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

Assalamualaikum Wr. Wb. 🙏🏻 Salam Creative 🌹 Undangan Terbuka Untuk seluruh Keluarga UKM triple-C dalam agenda Study Club nanti mal...

PROFIL FKIS

SAIFUL IHWAN. Powered by Blogger.

Cari Makalah FKis

WAWAN JR

WAWAN JR
Mahasiswa Hukum Bisnis Syariah di Kampus Universitas Trunojoyo Madura

Postingan Populer

Postingan Favorit

Blog Archive