PELAKSANAAN
PUTUSAN PENGADILAN
Dosen Pengampu :Adiyono,
S.H.I., M.H.I.
Oleh
:
Saiful
Ihwan (150711100003)
Rudi Hartono (150711100003)
Syamsiyah (150711100003)
PROGRAM
STUDI HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
alhamdulillah kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tetap
terhaturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita
dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang (addinul islam).
Karena atas rahmat dan hidayah Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang berjudul “Pelaksanaan Putusan Pengadilan”
dan dalam penyusunan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran sehingga dapat memperbaiki
kekurangan yang ada dalam makalah ini.
Akhirnya, semoga
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi para mahasiswa dan para pembaca
pada umumnya.
Bangkalan, 08 Setember2017
Penulis
A.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan
Masalah.................................................................................. 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Subyek dan obyek PPN........................................................................
B. PPnBM.................................................................................................
C. Badan pemungut dan cara Menghitung PPN, PPnBM..........................
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
..................................................................................... 14
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA .................................................................................. 17
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang
Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala
hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan
Hakim. Hal ini dapat tercapai jika putusan Hakim dapat dilaksanakan.
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan
oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu Negara, merupakan aturan
dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu
eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan
proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau
Rbg. Bagi setiaporang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi,harus
merujuk ke dalam aturan perundang-undangan yang diatur dalam HIR atau Rbg.
Di dalam membicarakan pengertian eksekusi, akan
dicoba menjelaskan beberapa hal yang erat kaitannya dengan pemahaman pengertian
eksekusi itu sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
1. Seperti
apakah yang dimaksud dengan Eksekusi?
2. Apa
saja jenis-jenis Eksekusi?
3. Apa
saja prinsip-prinsip Ekskusi?
4. Bagaimana
Prosedur dan mekanisme eksekusi di pengadilan
agama?
5. Apa Saja Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
putusan peradilan agama terutama dalam perkara perceraian dan perkawinan?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan
Eksekusi.
2. Untuk
mengetahui jenis-jenis Eksekusi.
3. Untuk
mengetahui prinsip-prinsip Ekskusi.
4. Untuk
mengetahui Prosedur dan mekanisme eksekusi di pengadilan
agama.
5. Untuk
mengetahui Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan putusan
peradilan agama terutama dalam perkara perceraian dan perkawinan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Eksekusi
Secara etimologi eksekusi berasal dari
bahasa Belanda yang berarti menjalankan putusan hakim atau pelaksanaan putusan
hakim atau pelaksanaan putusan (tenuivtvor
leggin van vanissen) secara terminologi eksekusi adalah melakukan putusan
(vonis) pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[1]
Eksekusi menurut M. Yahya H. Adalah
tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam
suatu perkara, merupakan tata aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan
yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.[2]
Menurut Prof. R. Subekti adalah pelaksanaan suatu
putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, diataati secara sukarela oleh
pihak yang bersengeketa. Jadi makna dalam perkataan, eksekusi sudah mengandung
arti pihak yang kalah mau tidak mau harus menaati putusan itu secara sukarela,
sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.
Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah poilisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).
Pengertian Eksekusi adalah merupakan
pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang
kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan.
Dalam Pasal 195 HIR/Pasal 207 RBG dikatakan: Hal menjalankan Putusan Pengadilan
Negeri dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri
adalah atas perintah dan tugas Pimpinan ketua Pengadilan negeri yang pada
tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam
pasal-pasal HIR. Selanjutnya dalam Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBG dikatakan: Jika
pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi amar Putusan
Pengadilan dengan damai maka pihak yang menang dalam perkara mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjalankan Putusan Pengadilan
itu. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah dalam hukum
serta melakukan teguran (aanmaning) agar pihak yang kalah dalam perkara
memenuhi amar putusan pengadilan dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari.
Dengan demikian, pengertian eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan
Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang
kalah dalam perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya[3].
Eksekusi dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila terlebih dahulu
ada permohonan dari pihak yang menang dalam perkara kepada Ketua Pengadilan
Negeri agar Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebelum menjalankan eksekusi Putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka Ketua Pengadilan
Negeri melakukan teguran (aanmaning) kepada pihak yang kalah dalam
perkara agardalam waktu 8 (delapan) hari sesudah Ketua Pengadilan Negeri
melakukan teguran (aanmaning) maka pihak yang kalah dalam perkara harus
mematuhi Amar Putusan Pengadilan dan apabila telah lewat 8 (delapan) hari
ternyata pihak yang kalah dalam perkara tidak mau melaksanakan Putusan
Pengadilan tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintah
Panitera/Jurusita Pengadilan Negeri untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek
tanah terperkara dan kemudian dapat meminta bantuan alat-alat negara/kepolisian
untuk membantu pengamanan dalam hal pengosongan yang dilakukan atas objek tanah
terperkara.
B.
Jenis-jenis
Eksekusi
a. Dengan Sukarela.
Artinya pihak yang dikalahkan
melaksanakan sendiri putusan Pengadilan tanpa ada paksaan dari pihak lain
b. Dengan Paksaan.
Yaitu menjalankan putusan
Pengadilan, yang merupakan suatu tindakan hukum dan dilakukan
secara paksa terhadap pihak yang kalah disebabkan ia tidak mau menjalankan
putusan secara suka rela.
Pada dasarnya ada 2 bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai
oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan
suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut
eksekusi riil, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi seperti ini
selalu disebut eksekusi pembayaran uang [4].
Demikian juga dalam praktek peradilan agama dikenal 2 macam eksekusi, yaitu
eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal
218 ayat (2) R.Bg, dan Pasal 1033 Rv, yang meliputi penyerahan pengosongan,
pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu. Dan eksekusi pembayaran
sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 200 HIR/Pasal 215 R.Bg[7]).
a. Eksekusi Riil.
Eksekusi riil adalah eksekusi yang
menghukum kepada pihak yang kalah dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu, misalnya menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan,
membongkar, menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu.
Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai
dengan amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.
b. Eksekusi Pembayaran Sejumlah
Uang.
Eksekusi pembayaran sejumlah uang
adalah eksekusi yang mengharuskan kepada pihak yang kalah untuk melakukan
pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR/208 R.Bg). Eksekusi ini adalah
kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk kedua ini tidaklah
dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan
C.
Prinsip Eksekusi
1. Putusan hakim yang akan di eksekusi
haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti
antara para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak
ada lagi upaya hukum (Rachtsmiddel), yakni: 3
a.
Putusan
pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding;
b.
Putusan
Makamah Agung (kasasi/PK).
c.
Putusan
verstek yang tidak diajukan verzet.
Sebagai pengecualian dari asas di
atas adalah:
a.
Putusan
serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad).
b.
Putusan
provisi.
c.
Putusan
perdamaian.
d.
Grose
akta hipotik/pengakuan hutang.
2. Putusan hakim yang akan
dieksekusi haruslah bersifat menghukum (condemnatoir). Maksudnya, pada
putusan yang bersifat menghukum adalah terwujud dari adanya perkara yang
berbentuk yurisdictio contentiosa (bukan yurisdictio
voluntaria), dengan bercirikan, bahwa perkara bersifat sengketa (bersifat
partai) dimana ada pengugat dan ada tergugat, proses pemeriksaannya secara
berlawanan antara penggugat dan tergugat (Contradictoir). Misalnya amar
putusan yang berbunyi :
a. Menghukum atau memerintahkan
menyerahkan sesuatu barang.
b. Menghukum atau memerintahkan pengosongan
sebidang tanah atau rumah.
c. Menghukum atau memerintahkan
melakukan suatu perbuatan tertentu.
d. Menghukum atau memerintahkan penghentian
suatu perbuatan atau keadaan.
3. Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela. Maksudnya,
bahwa tergugat sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak
bersedia melaksanakan amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat
bersedia melaksanakan amar putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya
tindakan eksekusi sudah tidak diperlukan lagi.
4. Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat
pertama Pasal 195 Ayat (1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg. Maksudnya, bahwa
pengadilan tingkat banding dengan Mahkamah Agung tidaklah mempunyai kewenangan
untuk itu, sekaligus terhadap putusannya sendiri, sehingga kewenangan tersebut
berada pada ketua pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama/pengadilan
negeri) yang bersangkutan dari sejak awal hingga akhir (dari aanmaning hingga
penyerahan barang kepada penggugat).
5. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan. Maksudnya,
apa yang dibunyikan oleh amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi tidak
boleh menyimpang dari amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi
diantaranya ditentukan pula oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang
didasari pertimbangan hukum sebagai argumentasi hakim.
D.
Prosedur Dan Mekanisme Eksekusi Di Pengadilan
Agama
E.
Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Putusan
Peradilan Agama Terutama Dalam Perkara Perceraian Dan Perkawinan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Peradilan
Agama Pasca UU Perkawinan 1974
Pada
tahun 1974 diundangkan UU Perkawinan. Setelah Melalui perjuangan dan perdebatan
panjang, akhirnya RUU Perkawinan dapat dilakukan perubahan-perubahan yang
sangat mendasar dan tidak lagi bertentangan dengan hukum syariah Islam.
Akhirnya pada 2 januari 1974 RUU Perkawinan tersebut disahkan dan diundangkan
oleh presiden Menjadi UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan
diundangkannnya UU perkawinan ini berarti hukum Islam dan lembaga-lembaga hukum Islam di bidang perkawinan menjadi
hukum positif yang berlaku bagi umat Islam. Mengenai kompetensi peradilan Agama
diatur dalam Pasal 63 ayat (1) UU. No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa:
a. Pengadilan
agama bagi mereka beragama islam dan,
b. Pengadilan
umum bagi lainnya.
UU
ini mulai berlaku efektif terhitung mulai tanggal 1 Oktober 1975. Dengan
berlakunya UU Perkawinan tersebut, maka
kompetensi Peradilan Agama dibidang perkawinan
dipulihkan kembali dan hal ini
merupakan titik awal pemulihan kembali kompetensi
peradilan agama dimasa-masa selanjutnya.
2. Peradilan
Agama Pasca UU Mahkamah Agung 1985
Pada
Tahun 1985 diundangkan UU No. 14 Tahun 1985 tanggal 30 Desember1985 tentang
Mahkamah Agung. Dengan UU ini, maka secara yuridis Mahkamah Agung juga
merupakan Pengadilan Negara Tinggi, baik untuk mengadili sengketa pengadilan
Agama maupun pengadilan agama lain yang berada dalam daerah hukum Pengadilan
Tinggi Agama yang berbeda.
Pada tahun 1987 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No.
2 Tahun 1987 tanggal Oktober 1987 tentang Wali Nikah. PMA ini memperteguh
kedudukan peradilan Agama karena didalamnya, yaitu pada pasal 3 terdapat
pelimpahan kewenangan untuk menetapkan adhalnya wali. Hal ini menambah luas kewenangan di
Indonesia.
3. Pro
dan kontra RUU Peradilan Agama
Sejak dibahas di DPR-RI, RUU-PA ini telah
menarik perhatian masyarakat luas dan menimbulkan kontroversi.Franz Magnis
menentang keras RUU-PA tersebut. S. Wijoyo dan P. J. Suwarno memberikan
tanggapan yang senada.Dia mempertanyakan kehadiran RUU-PA yang dinilainya bertentangan
dengan hak asasi manusia, seperti dengan hak pindah agama, perkawinan beda
agama, warisan anak yang tidak beragama Islam dari orang tuanya yang beragama
Islam. Mengapa tidak memakai hukum adat saja sebagai alternatif. Sementara itu
di pihak lain banyak yang mendukung RUU-PA tersebut, terutama dari kalangan
umat Islam yang secara relegius
konstitusional membutuhkan adanya Peradilan Agama guna memenuhi
perkembangan kebutuhan hukum mereka. Heru Susanto memberikan tanggapan (Pelita,
27 Juni 1989) atas pendapat Franz Magniz Suseno dengan menilai bahwa Franz
Magniz trauma berlebihan atas masa lalunya dengan menyembunyikan kecurigaan.
Franz Magniz tidak melihat bahwa yang namanya agama dalam Islam bukan hanya
masalah ibadah saja, tetapi juga hukum-hukum keluarga dan hukum waris. Semua
itu dijamin oleh pemerintah.H.M Rasyidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama,
memberikan tanggapan juga atas pro dan kontra RUU Peradilan Agama terutama
menanggapi pendapat Franz Magnis Suseno.
Namun demikian, pandangan Franz Magniz
tersebut di tahun 2006 telah berubah. Ahmad Gunaryo menuturkan bahwa Franz
Magniz mengemukakan bahwa dirinya mencabut seluruh keterangannya yang pernah
diberikan atau dipublikasikan menyangkut Peradilan Agama. Dalam kata-katanya
sendiri dia mengubah pandangan lamanya dengan pandangan baru dengan menyatakan
bahwa:
Saya mencabut seluruh pendapat saya yang
menyangkut Peradilan Agama. Saya menyadari kebodohan saya saat itu. Bagi saya
kalau memang suatu umat membutuhkan akan keberlakuan hukum agamanya untuk
dirinya sendiri, mengapa tidak.
Setelah melaui perjuangan panjang dan
perdebatan yang alot, akhirnya upaya untuk memiliki UU-PA tersebut mendapat
jalan lapang pada tahun 1989.
4. Kedudukan
PA dalam UU No. 7/1989
Dengan diundangkannya UU, maka Peradilan Agama
telah mengalami banyak kemajuan yang dicapai, antara lain:
a. Terciptanya penyederhanaan dan penyatuan dasar
hukum Peradilan Agama.
b. Terciptanya Kedudukan hukum Peradilan Agama
yang sederajat dengan Peradilan Umum.
c. Terciptanya penyatuan penyebutan pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama, yakni Pengadilan Agama sebagai pengadilan
tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding.
5. Kelemahan-kelemahan
PA dalam UU 7/1989
Secara
teoritis, setiap UU sebagai hukum positif seharusnya memiliki sifat-sifat
sempurna sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu : (1) Comprehensive(2) All-inclusive(3) Sistematic.
Namun setelah dikaji ulang, UU PA tersebut pada kenyataannya juga masih
terdapat beberapa kelemahan-kelemahan atau kekurangan, antara lain;
a. Bidang
kedudukan protokol hakim ternyata belum sepenuhnya sejajar dengan badan
peradilan lainnya dan dengan lembaga negara yang lain yang setingkat.
b. Bidang
susunan organisasi Peradilan Agama yang ternyata belum memenuhi kebutuhan guna
mendukung tugas pokok dan fungsi Pengadilan sebagai sebuah instansi.
c. Bidang
kompetensi pengadilan agama yang ternyata belum menjangkau seluruh bidang hukum
syariah Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Arto, Mukti. 2012. Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia (Kajian Historis, Filosofis, Ideologis, Yuridis, Futuristis, dan Pragmatis).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[1] Mardani,
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariah, (Jakarta: Sinar
Grafika) 2010, hlm. 142
[2] M. Yahya
Harahap, S.H., Ruang Lingkup Permasalahan
Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : PT Gramadia, 1991), hlm.1
[3]
M. Yahya Harahap, SH – Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1991, Hal. 5.
[4] M. Yahya Harahap, 1988: 20
[5] M. Yahya Harahap, SH – Ruang
Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1991, Hal. 13
0 komentar:
Post a Comment