MAKALAH
TEORI KEHENDAK DALAM AKAD
(IRADAH ‘AQDIYAH)
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Fiqh Muamalah
1
Dosen Pengampu : Ach.
Mus’if, S.HI., MA.
Oleh : Kelompok 07
Ana Lailatur Rofiah 150711100012
Awiatul Muthowiyah 150711100049
Siti Nawiyah 150711100035
M. Yusron Ainin
Najib 150711100010
HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ilmiah ini tentang “Teori Kehendak dalam Akad (Iradah ‘Aqdiyah)”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai sumber atau pihak sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah ini
memberikan manfaat terhadap pembaca.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Bangkalan, 30 Oktober 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akad merupakan tali ikatan yang menjadi sarana bagi dua belah pihak yang
saling berkepentingan dalam rangka mengekspresikan keinginan masing-masing
setelah melalui proses ijab dan qabul. Sedangkan proses ijab dan qabul itu
sendiri secara umum baik berupa ucapan, tulisan, isyarat dan perbuatan tidak
lain merupakan wahana atau sarana dalam rangka mengungkapkan sebuah makna yang
dikehendaki oleh pelaku akad yang berupa keinginan (iradah) untuk
membuat kesepakatan tertentu dengan orang lain, walaupun sebagian ulama
mengartikan makna akad secara lebih luas yang mencakup bentuk keinginan sepihak
untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan dampak hukum, seperti
sumpah, ibra, dan talak.
Sehingga pada dasarnya, setidaknya ada dua unsur yang harus dipenuhi oleh
seorang pelaku akad. Unsur pertama adalah niat dan iradah (keinginan) sedangkan
unsur kedua adalah bentuk ungkapan yang mencerminkan kehendak dan keinginan (iradah)
tersebut baik itu berupa ucapan, tulisan maupun isyarat. Adapun hakekat iradah
tersebut adalah kehendak yang menjadi dasar bagi diadakannya sebuah akad,
karena dengan tanpa adanya kehendak maka tidak akan ada ungkapan sehingga
dengan demikian tidak akan ada akad. Sedangkan bentuk ungkapan tersebut
hanyalah merupakan perwujudan dan cerminan dari adanya kehendak (iradah)
tersebut.
Namun demikian, karena niat dan iradah seseorang adalah perkara yang
tersembunyi dan tidak bisa diketahui kecuali dari bentuk ungkapan orang yang
bersangkutan, maka secara syara’ kehendak dan niat semata tidak bisa dijadikan
sebagai acuan dan pegangan dalam sebuah akad. Sehingga dari sinilah kita
melihat arti pentingnya bentuk ungkapan tersebut sebagai sarana dan media yang
bisa dijadikan sebagai rujukan dan pegangan terhadap adanya kehendak dari
pelaku akad yang bersangkutan. Dari kaedah ini kita juga bisa menyimpulkan
bahwa adanya niat dan kehendak semata tidak akan menimbulkan konsekwensi hukum
bagi para pelaku akad.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan Iradah ‘aqdiyah?
2.
Apa saja keinginan dalam mengadakan akad Iradah
‘aqdiyah?
3.
Apakah yang dimaksud dengan Syuriyatul
‘uqud?
4.
Dalam bentuk keadaan bagaimanakah Syuriyatul
‘uqud dapat terjadi?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui apa itu Iradah ‘aqdiyah (kehendak
mengadakan akad).
2.
Untuk mengetahui apa saja keinginan dalam
mengadakan akad Iradah ‘aqdiyah.
3.
Untuk mengetahui apa itu Syuriyatul ‘uqud.
4.
Untuk mengetahui bagaimana bentuk keadaan Shuriyatul
‘uqud hingga dapat terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Iradah ‘Aqdiyah (Kehendak Mengadakan Akad)
Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan al-Iradah dengan (القوة المولدة للعقد ,
yaitu: unsur kekuatan yang bisa melahirkan sebuah akad), sedangkan akad sendiri
merupakan bertemunya dua iradah terhadap sesuatu yang mengandung implikasi
hukum tertentu.
Secara umum, keinginan mengadakan akad Al-Iradah
Al-Aqdiyah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu berikut ini:
1.
Keinginan Batin (niat atau maksud)
Iradah Haqiqiyyah atau yang disebut juga dengan Iradah Batinah, yaitu suatu niat dan
kehendak dalam hati untuk melaksanakan sebuah akad. Keinginan batin dapat terwujud dengan adanya kerelaan dan pilihan (ikhtiar) dari pelaku akad. Ulama’Hanafiyah berpendapat bahwa kerelaan dan
pilihan adalah dua hal yang berbeda sebab ikhtiar dapat dilakukan dengan keridhaan
atau tidak. Adapun menurut ulama’ selain Hanafiyah, rida dan pilihan (ikhtiar)
adalah sama.
Namun demikian Iradah Batinah semata tidak bisa melahirkan suatu
kesepakatan akad tanpa dibarengi dengan bentuk ungkapan iradah tersebut.
Sehingga tidak akan terjadi sebuah akad hanya dengan adanya niat semata,
walaupun kedua belah pihak saling mengetahui adanya niat di antara mereka.
Dalam kaitannya dengan hal ini, terdapat kaedah yang mengatakan:
لا ينسب إلى ساكت قول “Tidak bisa dinisbatkan sebuah perkataan
terhadap orang yang diam”
Dan apabila para ulama mengatakan sah terhadap
sebagian bentuk akad yang tanpa diucapkan dalam sebuah lafadh, hal ini
disebabkan setelah pelaku akad saling meyakini terhadap terjadinya kesepakatan
akad di antara mereka yang bisa diketahui baik dari bentuk ungkapan dzahir
maupun dengan qarinah lain yang bisa dijadikan sebagai pengganti bentuk ucapan
dalam akad, seperti dalam jual beli mu’atah atau ketika ingin memperpanjang
kontrak rumah dengan membayar uang sewa bulanan dengan tanpa diikuti dengan
ucapan untuk membatalkan atau memperpanjang kontrak rumah tersebut.
2.
KeinginanYang Zahir
Keinginan zahir adalah sighat atau lafadz yang mengungkapkan keinginan batin. Apabila keinginan batin dan zahir itu sesuai, akad dinyatakan sah. Akan tetapi, jika salah satunya tidak ada, seperti orang
yang zahirnya ingin jual-beli, akadnya tidak sah sebab keinginan batinnya tidak
ada.
Iradah Zhahirah, yaitu bentuk ungkapan atau ibarat yang dijadikan sebagai sarana untuk
menjelaskan bentuk Iradah Batinah, baik itu dengan ucapan maupun
perbuatan dari seorang pelaku akad atas dasar kemauannya sendiri (mukhtar).
Sehingga Iradah Zhahirah tersebut dikatakan sebagai cerminan dari Iradah
Batinah, dan dengannya pula suatu akad bisa terlaksana walaupun dengan
tanpa mengetahui adanya Iradah Batinah Haqiqiyyah. Dan karena Iradah
Batinah tersebut sifatnya tersembunyi, maka Iradah Zhahirah berperan
sebagai satu-satunya sarana dalam mengungkapkan Iradah Batinah.
Bentuk ungkapan dalam Iradah Zhahirah
juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai qarinah, urf dan adat manusia. Karena
qarinah maupun urf tersebut sering kali dijadikan sebagai indikator dalam
pelaksanaan akad dan bisa menjadi pengganti atau alternatif dari segala bentuk
ungkapan dalam akad, sehingga urf maupun qarinah mempunyai pengaruh besar dalam
mengungkapkan iradah batinah selain bentuk ucapan, tulisan maupun
isyarat. Seperti dalam akad ijarah dengan tanpa menyebut waktu mulai berlakunya
ijarah, maka berarti ijarah tersebut berlaku sejak selesainya proses akad
tersebut, atau ketika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membelikan
suatu barang maka seorang wakil harus membeli barang tersebut dengan harga yang
umum (thaman al-mithl).
Tentang keinginan akad ini ada beberapa cabang, yaitu:
1.
Gambaran
Dalam akad terkadang hanya tampak zahirnya saja, sedangkan batinnya tersembunyi (tidak tampak). Akad seperti diatas, dalam beberapa hal dikategorikan tidak sah menurut jumhur Ulama’, antara lain:
a.
Akad ketika gila, tidur, belum mumayyiz, dan lain-lain;
b.
Tidak mengerti apa yang diucapkan;
c.
Akad ketika belajar, atau bersandiwara;
d.
Akad karena kesalahan;
e.
Akad karena dipaksa;
2.
Kebebasan dalam Akad
Para fuqaha memberikan batasan dalam akad yang menyangkut kebebasan akad dan kebebasan dalam menetapkan syarat dalam akad.
a.
Kebebasan berakal dan keridaan.
Para ulama telah sepakat bahwa keridaan merupakan landasan dalam akad, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat
29. Namun demikian, di antara para ulama sendiri terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan keridaan ini.
v Zhahiriyah,
yang mempersempit tentang keridaan, berpendapat bahwa setiap akad pada dasarnya dilarang sampai ada adil yang membolehkannya.
Dengan demikian, setiap akad yang tidak didapatkan dalil yang membolehkannya adalah dilarang. Mereka antara lain beralasan bahwa syariat islam mencakup segala aspek kehidupan manusia.
v Menurut ulama Hanabilah dan lain-lain, yang memperluas masalah keridaan, pada dasarnya setiap akad dibolehkan sampai ada dalil syara’ yang melarangnya. Mereka antara lain beralasan bahwa syara’ pada dasarnya hanya menetapkan keridaan dan ikhtiar (pilihan) pola akad.
b.
Kebebasan bersyarat
Yakni kebebasan dalam memberikan syarat tentang keabsahan akad. Dalam hal ini, diantara para ulama terbagi atas beberapa pendapat:
v Golongan Zhahiriyah yang menetapkan bahwa dasar pada syarat adalah larangan, menetapkan bahwa setiap syarat yang tidak ditetapkan oleh syara’ adalah batil.
v Golongan kedua berpendapat bahwa dasar pada akad dan syarat adalah kebolehan.
Golongan kedua ini terbagi atas dua golongan:
1)
Golongan Hanabilah yang berpendapat bahwa syarat akad adalah mutlak, yakni setiap syarat yang tidak didapatkan keharaman menurut syara’ adalah boleh.
2)
Golongan selain Hanabilah yang berpendapat bahwa dasar dari syarat akad adalah batasan, yakni setiap syarat yang tidak menyalahi batasan yang telah ditetapkan syara’ dipandang sah.
c.
Kecacatan keinginan atau rida
Kecacatan keinginan atau rida adalah perkara-perkara yang mengotori keinginan atau menghilangkan keridaan secara sempurna, yang disebut kecacatan rida. Kecacatan keinginan terbagi dalam tiga macam:
a.
Pemaksaan
b.
Penipuan
c.
Kesalahan
B.
Shuriyatul ‘Aqdiyah (Perwujutan Akad)
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa adanya iradah batinah semata
tidak bisa melahirkan sebuah akad. Sehingga dalam akad iradah batinah
tersebut harus diungkapkan dalam bentuk iradah zahiriyyah, baik dalam
bentuk ucapan, tulisan, isyarat, dan yang semua itu juga tidak lepas dari
qarinah maupun urf manusia dalam masalah pengungungkapannya.
Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari sering juga terjadi adanya iradah
zahiriyyah dengan tanpa disertai adanya iradah batinah dalam sebuah
akad atau yang disebut dalam fikih dengan istilah “suriyyah al-aqd” yang
mengandung arti “akad formalitas”, karena secara formal ia melakukan suatu
akad, namun hal itu tidak diiringi dengan hakekat akad yang ia lakukan.
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’ , shuriyyah
al-aqd dapat terjadi dalam bentuk keadaan-keadaan tertentu sebagai berikut:
1.
Keadaan muwada’ah atau taljiah (karena adanya
kesepakatan di luar akad), yaitu kesepakatan antara dua belah pihak pelaku akad
secara diam-diam bahwa apa yang akan diungkapkan dalam akad hanya merupakan
bentuk formalitas sehingga tidak ada konsekwensi hukum terhadap apa yang
terkandung dalam akad tersebut.
Adapun bentuk-bentuk muwada’ah tersebut dapat
dibedakan menjadi tiga macam:
a. Muwada’ah dalam asal aqad, yaitu bersepakat secara rahasia sebelum akad,
bahwa mereka akan mengadakan suatu kesepakatan secara lahiriyyah saja untuk
menimbulkan persangkaan kepada orang lain terhadap apa yang dilakukannya dengan
maksud-maksud tertentu bagi mereka berdua atau bagi salah satu di antara
mereka. Misalnya menjual harta untuk menghindari pembayaran hutang maupun
menjual harta untuk menghindari kezaliman penguasa.
Adapun hukum daripada bentuk akad ‘‘akad formalitas” tersebut adalah batil
alias tidak sah walaupun secara zahir mereka telah melakukan akad, hal itu karena
mereka telah bersepakat sebelumnya bahwa akad yang mereka lakukan adalah bebas
dari konsekwensi hukum yang dengan demikian berarti akad tersebut tanpa
disertai adanya iradah haqiqiyyah. Namun jika terdapat perselisihan di
antara mereka, apakah mereka melakukan akad dengan muwada’ah atau tidak maka
akad tersebut dianggap sebagai “akad sungguhan” termasuk ketika dalam proses
pengadilan, kecuali pihak kedua bisa membuktikan bahwa akad tersebut adalah
akad muwada’ah. Dalam hal ini masing-masing berhak mengaku muwada’ah termasuk
pihak ketiga yang dirugikan namun harus disertai dengan bukti, sedangkan yang
mengaku bahwa mereka telah melakukan “akad sungguhan”, cukup disumpah bahwa
mereka tidak melakukan akad secara muwada’ah.
b. Muwada’ah pada pengganti benda yang dilakukan akad terhadapnya, seperti
kesepakatan antara dua belah pihak yaitu pengantin laki-laki dengan wali
perempuan untuk menyebut mahar dalam jumlah besar dalam akad nikah, padahal
mereka sendiri sebenarnya telah bersepakat pada jumlah yang lebih kecil dari
yang disebut dalam akad nikah tersebut, sehingga jumlah yang disebut dalam akad
nikah bukan merupakan jumlah yang sesungguhnya bagi mereka. Hal ini mereka
lakukan untuk menunjukkan kemewahan dalam pernikahan seseorang dengan mahar
sekian banyaknya. Adapun hukum akad muwada’ah ini adalah sah dengan konsekwensi
kesepakatan mereka secara diam-diam, yaitu hanya wajib membayar sesuai yang
disepakati sebelum akad nikah, karena hal itu adalah yang sesuai dengan iradah
haqiqiyyah.
c. Muwada’ah pada nama orang, atau yang diistilahkan dengan ism musta’ar
(nama pinjaman) atau yang disebut juga dengan wakalah sirriyyah (perwakilan
rahasia), yaitu seseorang yang secara zahir melakukan akad atas namanya
sendiri, namun pada hakekatnya (dalam batinnya) ia melakukan akad tersebut atas
nama atau untuk kemaslahatan orang lain. Hal tersebut diketahui setelah ia
mengumumkan bahwa semua yang ia akadkan pada hakekanya milik orang lain,
sedangkan ia hanya merupakan orang yang dipinjam namanya sehingga dalam hal ini
konsekwensi hukum tetap berlaku pada “orang yang mewakilkan namanya” pada orang
lain yang dipinjam namanya. Hal itu seperti orang yang mewakilkan akad pada
seseorang dengan menggunakan nama orang tersebut dengan harapan akan
mempermudah proses terjadinya akad atau akan mendapatkan keistimewaan dengan
menggunakan nama orang tersebut.
2.
Keadaan bergurau (al-hazl), yaitu akad
yang diungkapkan secara main-main (tidak sungguh-sungguh) atau dengan maksud
istihza’ (meledek orang lain) sehingga pada hakekatnya ia tidak menginginkan
akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya akad tersebut.
Adapun bentuk al-hazl dalam sebuah akad
dapat diketahui dengan cara sebagai berikut:
a. Adakalanya dengan jelas disebut dalam akad oleh kedua belah pihak atau
salah satunya, seperti ungkapan: “saya pura-pura menjual barang ini kepada
kamu” atau “saya pura-pura membeli barang ini dari kamu”.
b. Adakalanya dengan muwada’ah yang dijanjikan sebelumnya, seperti kesepakatan
mereka bahwa akad yang akan mereka lakukan itu hanya main-main alias tidak
sungguh-sungguh.
c. Adakalanya pula bentuk hazl tersebut diketahui dengan adanya
qarinah-qarinah yang menunjukkan bahwa akad tersebut dilakukan dilakukan secara
hazl (main-main) dan tidak dimaksudkan dengan yang sebenarnya.
Seorang yang melakukan akad dengan salah satu bentuk di atas dapat disebut
sebagai al-hazil (orang yang bergurau dalam akad) walaupun semua itu ia lakukan
atas dasar keridaan dan ikhtiyar dari dirinya sendiri, karena pada hakekatnya
ia bergurau dan tidak menginginkan adanya dampak hukum dari akad tersebut. Akad
al-hazil juga bisa disebut sebagai “akad formalitas” yang tidak disertai dengan
adanya iradah haqiqiyyah sehingga tidak memiliki efek hukum.
Namun ketika ada perselisihan antara dua belah pihak, apakah akad yang
mereka lakukan adalah hazl atau “akad betulan”, maka zahir pendapat para
fuqaha’ mengatakan bahwa hal itu adalah “akad serius betulan” karena secara
asal sebuah akad dilakukan secara serius, serta karena berdasarkan kaedah
fiqhiyyah:
إعمال الكلام أولى من إهماله
“bahwa mengfungsikan makna sebuah ungkapan
lebih baik daripada membuang kandungan makna dari ungkapan tersebut”
Namun sebaliknya, pihak lain juga berhak membuktikan bahwa akad yang ia
lakukan adalah bentuk akad hazl sebagaimana halnya dalam akad muwada’ah.
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa
semua bentuk “akad formalitas” tidak menimbulkan dampak hukum bagi pelaku akad,
baik dalam bentuk muwada’ah maupun bentuk hazl, karena semua itu tidak disertai
dengan adanya iradah haqiqiyyah. Namun adanya iradah haqiqiyyah tersebut
tidak menjadi keharusan dalam akad-akad tertentu seperti dalam akad nikah,
talak atau dalam memerdekakan budak, sehingga apabila akad-akad tersebut
dilakukan dengan muwada’ah atau hazl pun akan mempunyai konsekwensi dan dampak
hukum bagi pelaku akad. Hal tersebut didasarkan pada sebuah hadits Nabi SAW. :
ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح والطلاق والعتاق.
“Terdapat tiga macam perkara di mana
keseriusannya adalah benar-benar serius dan gurauannya pun dalam tiga perkara
itu juga dianggap sebagai bentuk keseriusan, yaitu; nikah, talak dan
memerdekakan budak”
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan al-Iradah
dengan (القوة المولدة للعقد ,
yaitu: unsur kekuatan yang bisa melahirkan sebuah akad), sedangkan akad sendiri
merupakan bertemunya dua iradah terhadap sesuatu yang mengandung implikasi
hukum tertentu.
2.
Keinginan mengadakan akad Al-Iradah
Al-Aqdiyah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu berikut ini:
a. Keinginan batin (niat atau maksud)
b. Keinginan yang zahir, keinginan akad ini dibagi menjadi berbagai cabang
lagi, yaitu:
-
Gambaran,
-
Kebebasan dalam akad,
-
Kecatatan keinginan atau ridha.
3.
Adanya iradah batinah semata tidak bisa
melahirkan sebuah akad. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari sering juga
terjadi adanya iradah zahiriyyah dengan tanpa disertai adanya iradah
batinah dalam sebuah akad atau yang disebut dalam fikih dengan istilah “suriyyah
al-aqd” yang mengandung arti “akad formalitas”, karena secara formal ia
melakukan suatu akad, namun hal itu tidak diiringi dengan hakekat akad yang ia
lakukan.
4.
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’ , Shuriyyah
al-aqd dapat terjadi dalam bentuk keadaan-keadaan tertentu, seperti:
a. Keadaan muwada’ah atau taljiah (karena adanya kesepakatan di luar akad).
Adapun bentuk ini dibagi menjadi 3 macam yaitu:
-
Muwada’ah dalam asal aqad,
-
Muwada’ah pada pengganti benda yang dilakukan
akad terhadapnya,
-
Muwada’ah pada nama orang, atau yang
diistilahkan dengan ism musta’ar (nama pinjaman) atau yg lainnya.
b.
Keadaan bergurau (al-hazl), bentuk akad ini
dapat diketahui dengan cara:
·
Adakalanya dengan jelas disebut dalam akad
oleh kedua belah pihak atau salah satunya, seperti ungkapan: “saya pura-pura
menjual barang ini kepada kamu” atau “saya pura-pura membeli barang ini dari
kamu”.
·
Adakalanya dengan muwada’ah yang dijanjikan
sebelumnya, seperti kesepakatan mereka bahwa akad yang akan mereka lakukan itu
hanya main-main alias tidak sungguh-sungguh.
·
Adakalanya pula bentuk hazl tersebut diketahui
dengan adanya qarinah-qarinah yang menunjukkan bahwa akad tersebut dilakukan
dilakukan secara hazl (main-main) dan tidak dimaksudkan dengan yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalah. Bandung:
CV Pustaka Setia. 2001.
Dunia Akademik Fkis >>>>> Download Now
ReplyDelete>>>>> Download Full
Dunia Akademik Fkis >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Dunia Akademik Fkis >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK