Hukum Bisnis Syariah

Tuesday, 29 May 2018

Iddah, Rujuk Dalam Sistem Perkawinan Dan Kehidupan Berkeluarga



Iddah, Rujuk Dalam Sistem Perkawinan Dan Kehidupan Berkeluarga
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Munakahah

Dosen Pengampu: Shofiyun Nahidloh SAg. MHI





DISUSUN OLEH KELOMPOK 9
1.      Layyinah                           (150711100009)
2.      Syamsiyah                         (150711100034)
3.      Suhdi                                (150711100070)

HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016




KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanrrohim
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat-Nya semata, materi diskusi ini dapat kami selesaikan meskipun dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami berharap kepada bapak dosen agar memberikan kritik, saran dan perbaikan  lebih lanjut demi kesempurnaan makalah ini.
Makalah yang berjudul Iddah, rujuk dalam sistem perkawinan dan kehidupan berkeluarga ini kami buat dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Munakahat.
Dan kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini belum bisa terwujud dengan baik manakala tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat.
Dan akhirnya semoga makalah ini, bisa bermanfaat dan menambah wawasan  bagi para pembaca, Amin.

                                                                                                            

                              



Bangkalan, 11 November 2016


penulis
                                                           
                                                            BAB II
                                                    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Iddah
            Iddah adalah masa menunggu (tidak boleh kawin) yang diwajibkan kepada perempuan yang dicerai oleh suaminya dan ia sudah dicampuri, atau perempuan yang ditinggal meninggal oleh suaminya baik sudah pernah dicampuri atau belum dicampuri. Perempuan yang dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri tidak perlu mempunyai iddah.
1.      Macam-macam Iddah
            Masa iddah atau masa yang diwajibkan menunggu, bermacam-macam menurut perbedaan keaadaan istri yang diceraikan atau yang ditinggal meninggal suaminya. Secara garis besar iddah ada lima macam sebagai berikut:
a)      Iddah istri yang dicerai dan ia masih biasa haid lamanya tiga kali suci. 
Allah berfirman:
والمطلقت يتربصن بآنفسهن ثلثة قروء
Artinya: Wanita-wanita yang telah dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali suci.(Al-baqarah: 228)
b)      Iddah istri yang dicerai dan ia sudah tidak tidak haid, lama iddahnya adalah tiga bulan.
Allah berfirman:
والئ يْسن من المحيض من نسإكم إن رتبتم فعدتهن ثلثة اشهر والئ لم يحضن
Artinya: Perempuan-perempuan yang sudah berhenti haid jika kamu ragu (tentang (perempuan yang belum haid. (At-Thalaq: 4)[1]
c)      Iddah istri yang ditinggal wafat suami. Lama iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari bila tidak hamil.
والذين يتوفون منكم ويذرون أزوجا يتربصن بأنفسهن اربعة أشهر وعشرا
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaknya para istri itu menunggu empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)[2]
d)     Iddah istri yang dicerai dalam keadaan hamil. Lamanya sampai melahirkan kandungannya.
Allah berfirman:
وأولت الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن
Artinya: Perempuan-perempuan yang dicerai dalam keadaan hamil waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan.(At-Thalaq: 4)[3]
e)      Iddah istri yang ditinggal meninggal suaminya dalam keadaan hamil
Menurut sebagian besar ulama’, lama iddah istri yang ditinggal meninggal suaminya dan ia dalam keadaan hamil adalah iddah hamil yaitu sampai melahirkan walaupun kurang dari empat bulan sepuluh hari.
2.      Berakhirnya masa Iddah
            Apabila seorang perempuan hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan kandunganya. Apabila perempuan ber’iddah dengan bulan, maka ‘iddahnya dihitung sejak jatuhnya talak atau sejak meninggalnya suami, sampai genap tiga bulan atau empat bulan sepuluh hari. Apabila ‘iddahnya dihitung dengan haid, maka ‘iddahnya sampai tiga kali suci.
            Madzhab Maliki dan Syafi’i mengatakan bahwa talak yang jatuh pada pertengahan bulan, maka perempuan itu ber’iddah dengan sisa hari pada bulan dimana talak dijatuhkan, kemudian ber’iddah dengan bulan ketiga genap tiga puluh hari. Dan Abu Hanifah juga berpendapat bahwa sisa bulan pertama itu dihitung dan diteruskan sampai bulan yang ke empat menurut hari yang terlewat untuk menggenapkan.
3.      Kewajiban perempuan selama Iddah
            Perempuan yang ber’iddah wajib menetap ditempat suami istri bertempat tinggal, sampai selesainya ‘iddah. Ia tidak dibenarkan keluar rumah dan suami tidak berhak mengusirnya. Apabila talak dijatuhkan kewaktu istri sedang tidak ada dirumah, maka istri wajib kembali ke rumahnya setelah tau kalau dirinya diceraikan suaminya.
            Para ulama berbeda pendapat mengenai keluarnya perempuan dari rumah sewaktu mereka dalam ‘iddah. Ulama Haafiyah berpendapat bahwa perempuan yang dicerai dengan talak raj’i tidak boleh keluar dari rumah baik siang ataupun malam. Sedang perempuan yang perempuan yang ditinggal suaminya boleh keluar rumah pada waktu siang hari maupun malam tetapi harus tidur dirumahnya. Mereka berkata: perbedaannya ialah bahwa nafkah perempuan yang diceraikan maka ditanggung oleh suaminya, dan ia tidak boleh keluar seperti suaminya, lain dengan perempuan yang ditinggal mati suaminya, ia tidak lagi menerima nafkah, karena itu ia boleh keluar rumah pada siang hari untuk keperluannya.
            Sedangkan madzhab Hanbali memperbolehkan seorang istri keluar pada siang hari, baik ia diceraikan suaminya maupun ditinggal wafat oleh suaminya.
4.      Nafkah Iddah
            Para ulama berpendapat bahwa perempuan yang dicerai dengan talak raj’i berhakmendapat nafkah dan tempat tinggal. Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang perempuan yang diceraikan suaminya tanpa akan dirujuk lagi.
            Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan itu berha menerima nafkah dan tempat tinggal seperti perempuan yang di talak raj’i, karena ia masih terkait dengan peraturan untuk tetap tinggal dirumah perkawinan, ia masih menjadi tanggungan suaminya dan ia berhak menerima nafkah. Nafkah ini dianggap hutang bila tidak dibayar sejak terjadinya talak, hutang ini belum lunas sebelum dibayar atau direlakna oleh istri.
            Ahmad bin Hanbal berkat: bahwa perempuan itu tidak menerima nafkah dan tempat tinggal, berdasarkan hadist Fathimah binti Qais, ia diceraikan oleh suaminya dengan talak battah (putus sama sekali), Rasulullah saw bersabda kepadanya:
ليس لك عليه نفقة.
Artinya: Engkah tidak berhak menerima nafkah dari padanya.
            Kemudian, Malik dan Syafi’i berkata: perempuan itu berhak mendapatkan tempat tinggal tetapi tidak berhak meneriman nafkah, kecuali apabila ia hamil.
B.     Pengertian Rujuk
            Rujuk berasal dari bahasa arab berbentuk masdar dari kata رَجَعَ-يَرْجِعُ-رُجُوْعٌ yang maknanya kembali. Dalam istilah fiqih rujuk berarti kembali kepada ikatan pernikahan dari talak raj’i yang dilakukan dalam masa iddahdengan cara-cara tertentu. Rujuk dikatakan sebagian kembali kepada ikatan pernikahan karena rujuk bukan pernikahan baru, akan tetapi melanjutkan ikatan pernikahan lama yang terputus. Rujuk tidak memerlukan akad nikah baru karena akad nikah lama belum terputus selagi masih belum habis masa iddah. Istri yang ditalak dengan talak satu atau dua setelah habis masa iddahnya tidak dapat dirujuk lagi kecuali melakukan akad nikah baru karena sudah jatuh talak bain. Dalam sebuah hadis juga diterangkan sebagai berikut:
عَنِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما اَنَّهُ لَمَّا طَلَقَ امْرَءَتَهُ قال ص.م لِعُمَرَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
Artinya: Dari Ibnu Umar ra diriwayatkan ketika ia menceraikan istrinya, Nabi Muhammad SAW bersabda kepada Umar (ayah Ibnu Umar). Suruhlah ia merujuk istrinya. (Muttafaq ‘alaih).
1)      Hukum Rujuk
            Pada asalnya hukum rujuk adalah jaiz (boleh), kemudian berlaku hukum haram, makruh, sunnah dan wajib menurut pertimbangan sebagai berikut:
a.       Haram, apabila rujuk pihak istri dirugikan seperti keadaannya lebih menderita dibandingkan dengan sebelum rujuk.
b.      Makruh, apabila diketahui bahwa meneruskan penceraian lebih bermanfaat bagi keduanya dibandingkan dengan sebelum rujuk.
c.       Sunah, apabila diketahui bahwa rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian juga sunnah hukumnya rujuk yang dilakukan oleh suami yang mencerai istrinya dengan talak bid’i.
d.      Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu, jika salah seorang ditalak sebelum gilirannya disempurnakan.
2)      Rujuk adalah hak suami
            Rujuk adalah hak suami selama masa ‘iddah, karena tidak seorangpun yang dapat menghapus hak rujuk. Kalau ada seseorang laki-laki berkata tidak akanmerujuk istrinya ia masih tetap berhak merujuknya. Allah berfirman:
وَبُعُوْ لَتُهُنَّ أَحَقُ بِرَ دِّهِنَّ
Artinya:
            Suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuknya. (QS. 2, Al-Baqaqrah:228)
            Karena rujuk itu hak suami, maka isteri tidak disyaratkan untuk ridha atau mengetahuinya dan tidak diperlukan adanya wali. Rujuk adalah hak mutlak suami berdasarkan ayat diatas. Saksi juga tidak diperlukan. Meskipun demikian adanya saksi disunnahkan, karena dikhawatirkan suami akan menginkarinya, berdasarkan firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ                                                                                                    
Artinya:
            Dan periksakanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu. ( Q.S. Al-Baqarah:282)

            Ulama’ sepakat bahwa suami yang telah menjatuhkan Thalaq satu atau thalaq dua atas isterinya selagi istri yang dicampurinya berhak merujuk istrinya selagi istri yang di Thalaq tersebut masih dalam masa ‘iddah meskipun isterinya enggan dirujuk.
            Apabila sampai lepas ‘iddah suami tidak merujuknya, maka istri menjadi lebih berhak atas dirinya, ia menjadi ajnabi, asing bagi suaminya. Ia tidak halal lagi bagi suaminya kecuali dengan dipinang lagi dan dengan akad nikah lagi, dengan wali, saksi dan mahar seperti lazimnya suatu akad nikah.
            Seandainya suami kembali atau merujuk istrinya di masa ‘iddah, maka suami tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan nikah kecuali kesaksian atas rujuknya.
3)      Cara rujuk
            Para ulama’ berbeda pandangan mengenai cara rujuk. Imam malik berpendapat bahwa apabila seorang suami bersetubuh di massa ‘iddah dengan istri yang telah dithalaqnya dan ia bermaksud nerujuknya tetapi ia tidak tahu bahwa rujuknya harus dipersaksikan, maka perbuatannya dianggap sebagai rujuk. Beralasan denga hadist:
 اِنَّمَا الاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتْ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
            Bahwasanya setiap perbuatan itu bergantung pada niat, dan bahwa seseorang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya.
            Kesimpulan pendapat ini adalah bahwa bersetubuh dengan istri yang telah dithalaq adalah rujuk. Demikian pendapat sa’id bin musayyab, hasan al-basri, ibnu sirin, az-zuhri, ‘atha’ thawus dan ats-tsauri.
            Mereka yang  berpendapat demikian mengqiyaskan masa ‘iddahseperti masa khiyar dalam akad jual beli budak. Mereka sependapat bahwa seorang yang telah menjual budak perempuannya dengan khiyar, penjual masih berhak mengumpuli budaknya dalam masa khiyar, mengumpili sama dengan ia menarik kembali jualannya, ia memilih membatalkan jual beli dengan cara mengumpuli budak perempunnya. Istri yang telah dithalaq dengan thalaq raj’i sama hukumnya dengan jualan khiyar.
            Demikian pula seorang suami yang mencium atau bermesraan dengan istrinya yang telah dithalaqnya dengan thalaq raj’i dengan niat rujuk adalah rujuk. Apabila tidak disertai niat, maka menjadi maksiat dan berdosa.
            As-Syafi’ie berpendapat bahwa rujuk harus dengan ucapan sharih, bagi yang mengucapkannyadan tidak sah apabila hanya dilakukan dengan berhubungan kelamin atau hal-hal yang mendorong untuk berhubungan kelamin seperti berciuman.
            As-Syafi’ie beralasanbahwa thalaq itu membuabarkan perkawinan. Ibnu Hazm berkata: hubungan kelamin bukanlah cara untuk rujuk tetapi harus dengan ucapan yang disaksikan, istri juga harus diberi tahu sebelum lepasnya ‘iddah. Apabila suami merujuk tanpa saksi, bukan rujuk namanya, berdasarkan firman Allah SWT:
 فَاِذَا ابَلَغْنَ أَججَلَهُنَّ فَأَمْسَكُوْ هُنَّ بِمَعْرُوْفِ أَوْفَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفِ وَاَشْهِدُوْا ذَوَي عَدلٍ مِنْكُمْ
            Apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu. (Q.S 65, At-Thalaq:2)
            As-Syafi’i berpendapat bahwa tidak sah rujuk kecuali dengan ucapan. Apabila suami mencampuri isterinya (yang telah dithalaqnya) dengan atau tanpa niat rujuk, tidak dikatakan rujuk dan istri berhak meminta mahar mitsil. Perbuatan suami terhadap  istri yang telah dithalaqnya itu menjadi syubhat, dan wathi’ syubhat mengharuskan mahar mitsil.
4)      Kesaksian dalam rujuk
            Seorang yang melakukan rujuk di masa ‘iddahnya tidak terikat ketentuannikah kecuali persaksian atas rujuk. Demikian kesepakatan para ulam’, berdasarkan firman Allah SWT.
فَاِذَا ابَلَغْنَ أَججَلَهُنَّ فَأَمْسَكُوْ هُنَّ بِمَعْرُوْفِ أَوْفَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفِ وَاَشْهِدُوْا ذَوَي عَدلٍ مِنْكُمْ
            Apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu. (Q.S 65, At-Thalaq:2)
            Allah Ta’ala dalam ayat diatas menyebut kesaksian dalam kasus rujuk tetapi tidak menyebutnya dalam masalah nikah dan thalaq. Kesaksian dapat dilakukan terhadap ikrar rujuk dengan perbuatan seperti berciuman atau hubungan kelamin. Karenya, rujuk harus dilakukan dengan ikrarnya dipersaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi persyaratan sebagai saksi.
            Allah SWT tidak mebedakan kesaksian dalam rujuk dan thalaq, maka tidak benar misahkan antara yang satu dengan lainnya. Barangsiapa yang bercerai atau rujuk tanpa saksi berarti melanggar hukum Allah SWT.
            Sahabat Imran bin Husain pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya kemudian mencampurinya, thalaq dan rujuknyatidak dipersaksikan, imran bin Husain menjawab: “ia menthalaq tidak menurut sunnah dan ia rujuk tidak menurut sunnah. Persaksikanlah thalaq dan rujuknya, dan jangan diulangi.
           








                                                                                               



















Share:

0 komentar:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

Assalamualaikum Wr. Wb. 🙏🏻 Salam Creative 🌹 Undangan Terbuka Untuk seluruh Keluarga UKM triple-C dalam agenda Study Club nanti mal...

PROFIL FKIS

SAIFUL IHWAN. Powered by Blogger.

Cari Makalah FKis

WAWAN JR

WAWAN JR
Mahasiswa Hukum Bisnis Syariah di Kampus Universitas Trunojoyo Madura

Postingan Populer

Postingan Favorit

Blog Archive