Iddah, Rujuk Dalam Sistem Perkawinan Dan Kehidupan Berkeluarga
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Munakahah
Dosen
Pengampu: Shofiyun Nahidloh SAg. MHI
DISUSUN
OLEH KELOMPOK 9
1.
Layyinah (150711100009)
2.
Syamsiyah (150711100034)
3.
Suhdi (150711100070)
HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO
MADURA
2016
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanrrohim
Dengan
memanjatkan puji syukur kehadirat Allah
SWT, karena dengan Rahmat-Nya semata, materi diskusi ini dapat kami
selesaikan meskipun dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kami berharap kepada bapak dosen agar memberikan kritik, saran dan
perbaikan lebih lanjut demi kesempurnaan
makalah ini.
Makalah
yang berjudul “Iddah, rujuk dalam
sistem perkawinan dan kehidupan berkeluarga” ini kami buat dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah
Fiqih Munakahat.
Dan
kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini belum bisa terwujud dengan
baik manakala tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu
kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat.
Dan akhirnya semoga makalah ini, bisa bermanfaat dan menambah
wawasan bagi para pembaca, Amin.
Bangkalan,
11 November 2016
penulis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Iddah
Iddah adalah masa menunggu (tidak
boleh kawin) yang diwajibkan kepada perempuan yang dicerai oleh suaminya dan ia
sudah dicampuri, atau perempuan yang ditinggal meninggal oleh suaminya baik
sudah pernah dicampuri atau belum dicampuri. Perempuan yang dicerai oleh
suaminya dan belum dicampuri tidak perlu mempunyai iddah.
1.
Macam-macam
Iddah
Masa iddah atau
masa yang diwajibkan menunggu, bermacam-macam menurut perbedaan keaadaan istri yang diceraikan atau yang ditinggal meninggal
suaminya. Secara garis besar iddah ada lima macam sebagai berikut:
a)
Iddah
istri yang dicerai dan ia masih biasa haid lamanya tiga kali suci.
Allah berfirman:
والمطلقت
يتربصن بآنفسهن ثلثة قروء
Artinya: Wanita-wanita yang telah dicerai hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali suci.(Al-baqarah: 228)
b)
Iddah istri yang
dicerai dan ia sudah tidak tidak haid, lama iddahnya adalah tiga bulan.
Allah berfirman:
والئ يْسن من المحيض من نسإكم إن رتبتم فعدتهن ثلثة اشهر
والئ لم يحضن
Artinya: Perempuan-perempuan yang sudah berhenti haid
jika kamu ragu (tentang (perempuan yang belum haid. (At-Thalaq: 4)[1]
c)
Iddah istri yang
ditinggal wafat suami. Lama iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari bila tidak
hamil.
والذين يتوفون منكم ويذرون أزوجا يتربصن بأنفسهن اربعة أشهر
وعشرا
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu
dan meninggalkan istri-istri hendaknya para istri itu menunggu empat bulan
sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)[2]
d)
Iddah istri yang
dicerai dalam keadaan hamil. Lamanya sampai melahirkan kandungannya.
Allah
berfirman:
وأولت
الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن
Artinya: Perempuan-perempuan yang dicerai dalam
keadaan hamil waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan.(At-Thalaq: 4)[3]
e)
Iddah istri yang
ditinggal meninggal suaminya dalam keadaan hamil
Menurut sebagian besar ulama’, lama iddah istri yang
ditinggal meninggal suaminya dan ia dalam keadaan hamil adalah iddah hamil
yaitu sampai melahirkan walaupun kurang dari empat bulan sepuluh hari.
2.
Berakhirnya masa Iddah
Apabila
seorang perempuan hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan
kandunganya. Apabila perempuan ber’iddah dengan bulan, maka ‘iddahnya dihitung
sejak jatuhnya talak atau sejak meninggalnya suami, sampai genap tiga bulan
atau empat bulan sepuluh hari. Apabila ‘iddahnya dihitung dengan haid, maka
‘iddahnya sampai tiga kali suci.
Madzhab
Maliki dan Syafi’i mengatakan bahwa talak yang jatuh pada pertengahan bulan,
maka perempuan itu ber’iddah dengan sisa hari pada bulan dimana talak dijatuhkan,
kemudian ber’iddah dengan bulan ketiga genap tiga puluh hari. Dan Abu Hanifah
juga berpendapat bahwa sisa bulan pertama itu dihitung dan diteruskan sampai
bulan yang ke empat menurut hari yang terlewat untuk menggenapkan.
3.
Kewajiban perempuan selama
Iddah
Perempuan
yang ber’iddah wajib menetap ditempat suami istri bertempat tinggal, sampai
selesainya ‘iddah. Ia tidak dibenarkan keluar rumah dan suami tidak berhak mengusirnya.
Apabila talak dijatuhkan kewaktu istri sedang tidak ada dirumah, maka istri
wajib kembali ke rumahnya setelah tau kalau dirinya diceraikan suaminya.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai keluarnya perempuan dari rumah sewaktu mereka
dalam ‘iddah. Ulama Haafiyah berpendapat bahwa perempuan yang dicerai dengan
talak raj’i tidak boleh keluar dari rumah baik siang ataupun malam. Sedang
perempuan yang perempuan yang ditinggal suaminya boleh keluar rumah pada waktu
siang hari maupun malam tetapi harus tidur dirumahnya. Mereka berkata:
perbedaannya ialah bahwa nafkah perempuan yang diceraikan maka ditanggung oleh
suaminya, dan ia tidak boleh keluar seperti suaminya, lain dengan perempuan
yang ditinggal mati suaminya, ia tidak lagi menerima nafkah, karena itu ia
boleh keluar rumah pada siang hari untuk keperluannya.
Sedangkan
madzhab Hanbali memperbolehkan seorang istri keluar pada siang hari, baik ia
diceraikan suaminya maupun ditinggal wafat oleh suaminya.
4.
Nafkah Iddah
Para
ulama berpendapat bahwa perempuan yang dicerai dengan talak raj’i
berhakmendapat nafkah dan tempat tinggal. Tetapi para ulama berbeda pendapat
tentang perempuan yang diceraikan suaminya tanpa akan dirujuk lagi.
Abu Hanifah berpendapat bahwa
perempuan itu berha menerima nafkah dan tempat tinggal seperti perempuan yang
di talak raj’i, karena ia masih terkait dengan peraturan untuk tetap tinggal
dirumah perkawinan, ia masih menjadi tanggungan suaminya dan ia berhak menerima
nafkah. Nafkah ini dianggap hutang bila tidak dibayar sejak terjadinya talak, hutang ini
belum lunas sebelum dibayar atau direlakna oleh istri.
Ahmad bin Hanbal berkat: bahwa
perempuan itu tidak menerima nafkah dan tempat tinggal, berdasarkan hadist
Fathimah binti Qais, ia diceraikan oleh suaminya dengan talak battah (putus
sama sekali), Rasulullah saw bersabda kepadanya:
ليس
لك عليه نفقة.
Artinya: Engkah tidak berhak menerima nafkah dari padanya.
Kemudian, Malik dan Syafi’i berkata:
perempuan itu berhak mendapatkan tempat tinggal tetapi tidak berhak meneriman
nafkah, kecuali apabila ia hamil.
B.
Pengertian Rujuk
Rujuk berasal dari bahasa arab
berbentuk masdar dari kata رَجَعَ-يَرْجِعُ-رُجُوْعٌ
yang maknanya kembali. Dalam istilah fiqih rujuk berarti kembali kepada ikatan
pernikahan dari talak raj’i yang dilakukan dalam masa iddahdengan cara-cara
tertentu. Rujuk dikatakan sebagian kembali kepada ikatan pernikahan karena
rujuk bukan pernikahan baru, akan tetapi melanjutkan ikatan pernikahan lama
yang terputus. Rujuk tidak memerlukan akad nikah baru karena akad nikah lama
belum terputus selagi masih belum habis masa iddah. Istri yang ditalak dengan
talak satu atau dua setelah habis masa iddahnya tidak dapat dirujuk lagi
kecuali melakukan akad nikah baru karena sudah jatuh talak bain. Dalam sebuah
hadis juga diterangkan sebagai berikut:
عَنِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما اَنَّهُ لَمَّا طَلَقَ
امْرَءَتَهُ قال ص.م لِعُمَرَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
Artinya: Dari
Ibnu Umar ra diriwayatkan ketika ia menceraikan istrinya, Nabi Muhammad SAW
bersabda kepada Umar (ayah Ibnu Umar). Suruhlah ia merujuk istrinya.
(Muttafaq ‘alaih).
1)
Hukum Rujuk
Pada asalnya hukum rujuk adalah jaiz
(boleh), kemudian berlaku hukum haram, makruh, sunnah dan wajib menurut
pertimbangan sebagai berikut:
a.
Haram, apabila
rujuk pihak istri dirugikan seperti keadaannya lebih menderita dibandingkan
dengan sebelum rujuk.
b.
Makruh, apabila
diketahui bahwa meneruskan penceraian lebih bermanfaat bagi keduanya
dibandingkan dengan sebelum rujuk.
c.
Sunah, apabila
diketahui bahwa rujuk lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian juga
sunnah hukumnya rujuk yang dilakukan oleh suami yang mencerai istrinya dengan
talak bid’i.
d.
Wajib, khusus bagi
laki-laki yang beristri lebih dari satu, jika salah seorang ditalak sebelum
gilirannya disempurnakan.
2)
Rujuk adalah hak suami
Rujuk
adalah hak suami selama masa ‘iddah, karena tidak seorangpun yang dapat
menghapus hak rujuk. Kalau ada seseorang laki-laki berkata tidak akanmerujuk
istrinya ia masih tetap berhak merujuknya. Allah berfirman:
وَبُعُوْ
لَتُهُنَّ أَحَقُ بِرَ دِّهِنَّ
Artinya:
Suami-suami mereka lebih berhak
untuk merujuknya. (QS. 2, Al-Baqaqrah:228)
Karena rujuk itu hak suami, maka
isteri tidak disyaratkan untuk ridha atau mengetahuinya dan tidak diperlukan
adanya wali. Rujuk adalah hak mutlak suami berdasarkan ayat diatas. Saksi juga
tidak diperlukan. Meskipun demikian adanya saksi disunnahkan, karena
dikhawatirkan suami akan menginkarinya, berdasarkan firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
Artinya:
Dan periksakanlah dengan dua orang
saksi yang adil diantara kamu. ( Q.S. Al-Baqarah:282)
Ulama’ sepakat bahwa suami yang
telah menjatuhkan Thalaq satu atau thalaq dua atas isterinya
selagi istri yang dicampurinya berhak merujuk istrinya selagi istri yang di
Thalaq tersebut masih dalam masa ‘iddah meskipun isterinya enggan dirujuk.
Apabila sampai lepas ‘iddah suami
tidak merujuknya, maka istri menjadi lebih berhak atas dirinya, ia menjadi ajnabi,
asing bagi suaminya. Ia tidak halal lagi bagi suaminya kecuali dengan
dipinang lagi dan dengan akad nikah lagi, dengan wali, saksi dan mahar seperti
lazimnya suatu akad nikah.
Seandainya suami kembali atau
merujuk istrinya di masa ‘iddah, maka suami tidak terikat dengan
ketentuan-ketentuan nikah kecuali kesaksian atas rujuknya.
3)
Cara rujuk
Para ulama’ berbeda pandangan
mengenai cara rujuk. Imam malik berpendapat bahwa apabila seorang suami
bersetubuh di massa ‘iddah dengan istri yang telah dithalaqnya dan ia bermaksud
nerujuknya tetapi ia tidak tahu bahwa rujuknya harus dipersaksikan, maka perbuatannya
dianggap sebagai rujuk. Beralasan denga hadist:
اِنَّمَا الاَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتْ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Bahwasanya setiap perbuatan itu
bergantung pada niat, dan bahwa seseorang akan mendapatkan balasan sesuai
niatnya.
Kesimpulan pendapat ini adalah bahwa
bersetubuh dengan istri yang telah dithalaq adalah rujuk. Demikian pendapat
sa’id bin musayyab, hasan al-basri, ibnu sirin, az-zuhri, ‘atha’ thawus dan
ats-tsauri.
Mereka yang berpendapat demikian mengqiyaskan masa ‘iddahseperti
masa khiyar dalam akad jual beli budak. Mereka sependapat bahwa seorang yang
telah menjual budak perempuannya dengan khiyar, penjual masih berhak mengumpuli
budaknya dalam masa khiyar, mengumpili sama dengan ia menarik kembali
jualannya, ia memilih membatalkan jual beli dengan cara mengumpuli budak
perempunnya. Istri yang telah dithalaq dengan thalaq raj’i sama hukumnya dengan
jualan khiyar.
Demikian pula seorang suami yang
mencium atau bermesraan dengan istrinya yang telah dithalaqnya dengan thalaq
raj’i dengan niat rujuk adalah rujuk. Apabila tidak disertai niat, maka menjadi
maksiat dan berdosa.
As-Syafi’ie berpendapat bahwa rujuk
harus dengan ucapan sharih, bagi yang mengucapkannyadan tidak sah
apabila hanya dilakukan dengan berhubungan kelamin atau hal-hal yang mendorong
untuk berhubungan kelamin seperti berciuman.
As-Syafi’ie beralasanbahwa thalaq
itu membuabarkan perkawinan. Ibnu Hazm berkata: hubungan kelamin bukanlah cara
untuk rujuk tetapi harus dengan ucapan yang disaksikan, istri juga harus diberi
tahu sebelum lepasnya ‘iddah. Apabila suami merujuk tanpa saksi, bukan rujuk
namanya, berdasarkan firman Allah SWT:
فَاِذَا ابَلَغْنَ
أَججَلَهُنَّ فَأَمْسَكُوْ هُنَّ بِمَعْرُوْفِ أَوْفَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفِ
وَاَشْهِدُوْا ذَوَي عَدلٍ مِنْكُمْ
Apabila mereka telah mendekati akhir
‘iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu. (Q.S 65, At-Thalaq:2)
As-Syafi’i berpendapat bahwa tidak
sah rujuk kecuali dengan ucapan. Apabila suami mencampuri isterinya (yang telah
dithalaqnya) dengan atau tanpa niat rujuk, tidak dikatakan rujuk dan istri
berhak meminta mahar mitsil. Perbuatan suami terhadap istri yang telah dithalaqnya itu menjadi
syubhat, dan wathi’ syubhat mengharuskan mahar mitsil.
4)
Kesaksian
dalam rujuk
Seorang yang melakukan rujuk di masa
‘iddahnya tidak terikat ketentuannikah kecuali persaksian atas rujuk. Demikian
kesepakatan para ulam’, berdasarkan firman Allah SWT.
فَاِذَا ابَلَغْنَ أَججَلَهُنَّ فَأَمْسَكُوْ هُنَّ
بِمَعْرُوْفِ أَوْفَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفِ وَاَشْهِدُوْا ذَوَي عَدلٍ مِنْكُمْ
Apabila mereka telah mendekati akhir
‘iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu. (Q.S 65,
At-Thalaq:2)
Allah Ta’ala dalam ayat diatas
menyebut kesaksian dalam kasus rujuk tetapi tidak menyebutnya dalam masalah
nikah dan thalaq. Kesaksian dapat dilakukan terhadap ikrar rujuk dengan
perbuatan seperti berciuman atau hubungan kelamin. Karenya, rujuk harus
dilakukan dengan ikrarnya dipersaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi
persyaratan sebagai saksi.
Allah SWT tidak mebedakan kesaksian
dalam rujuk dan thalaq, maka tidak benar misahkan antara yang satu dengan
lainnya. Barangsiapa yang bercerai atau rujuk tanpa saksi berarti melanggar
hukum Allah SWT.
Sahabat Imran bin Husain pernah
ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya kemudian
mencampurinya, thalaq dan rujuknyatidak dipersaksikan, imran bin Husain
menjawab: “ia menthalaq tidak menurut sunnah dan ia rujuk tidak menurut sunnah.
Persaksikanlah thalaq dan rujuknya, dan jangan diulangi.
0 komentar:
Post a Comment