Isu Terkini Perlindungan
Konsumen Pada Nasabah Perbankam Syariah
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Semester
Genab Mata Kulia Hukum
Perlindungan Konsumen
Dosen Pengampu Mata Kuliah
:
Galuh Widitya Qomaro,
S.H.I., M.H.I.
Disusun
oleh:
1. Saiful Ihwan (150711100003)
2. Riska
Ifa Nur Ashari (150711100073)
PRODI
HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS
KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2018
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami haturkan kepada Allah, karena atas segala rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Isu Terkini Perlindungan
Konsumen pada Pada Perbankan Syariah ”. Makalah ini kami tulis sebagai bahan
diskusi di kelas mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen Pada program studi
Hukum Bisnis Syariah yang sedanng kami tempuh.
Kami
menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi
teknis maupun materi tulisan. Untuk itu, kritik dan saran kami harapkan demi
peningkatan yang lebih baik kedepan. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca, dan khususnya bagi kami sebagai penyusun.
Bangkalan, 25 Mei 2018
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan
perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Demikian dinyatakan oleh Cicero
pada abad I SM dan ditegaskan juga oleh Artidjo Alkostar (Hakim agung RI),
bahwa pada dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan,
kebenaran dan hukum, karena hal tersebut adalah merupakan nilai dan kebutuhan
asasi bagi masyarakat beradab.
Kunci pokok dalam perlindungan bagi nasabah bahwa antara nasabah
dengan lembaga keuangan perbankan syariah, sangat erat hubungannya, bank tidak
akan berkembang dengan baik serta tidak dapat memberi manfaat bagi masyarakat
luas, jika tidak ada nasabah, oleh karena sebagai pelaku usaha perbankan sangat
tergantung dangan nasabah untuk dapat mempertahankan kelangsungan usahanya.
Sabagaimana akan dibahas lebih dilanjut berdasarkan rumsan masalah dibawah
berikut
B.
Rumusan
Masalah
1. Urgensi
Perlindungan Nasabah Bank Syariah?
2. Bentuk
Perlindungan Hukum dari Peraturan Bank Indonesia?
3. Bentuk
Perlindungan Konsumen Pada UUPK?
4. Bentuk
Perlindungan Konsemen pada kemurnian Syariah?
C.
Tujuan
1. Urgensi
Perlindungan Nasabah Bank Syariah.
2. Bentuk
Perlindungan Hukum dari Peraturan Bank Indonesia.
3. Bentuk
Perlindungan Konsumen Pada UUPK.
4. Bentuk
Perlindungan Konsemen pada kemurnian Syariah.
BAB
II
PEMBAHA SAN
A. Urgensi Perlindungan Nasabah Bank
Syariah
Berbicara tentang perlindungan hukum bagi nasabah , tentu timbul
pertanyaan kepada kita mengapa nasabah perlu dilindungi dan bagaimana
bentuk-bentuk perlindungannya menurut peraturan perundang-undangan. Sebelum menjawab
pertanyaan tersebut perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan perlindungan
hukum, adalah upaya untuk menciptakan rasa aman dan terlindungi bagi para
nasabah. Sedangkan yang dimaksud dengan nasabah bank adalah konsumen jasa
perbankan yang bertransaksi di jasa keuangan Perbankan (Jamal Wiwoho, 2010: 7).
Kunci pokok dalam perlindungan hukum bagi nasabah bahwa antara nasabah dengan
lembaga keuangan perbankan , sangat erat hubungannya, karena bank tidak akan
berkembang dengan baik serta tidak dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas,
jika tidak ada nasabah, oleh karena sebagai pelaku usaha perbankan sangat
bergantung dangan nasabah, untuk dapat mempertahankan kelangsungan usahanya.
Dalam kenyataan terjadi banyak pelaku usaha/pihak perbankan
memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan hak-hak konsumen serta
memanfaatkan kelemahan konsumennya (nasabah) tanpa harus mendapatkan sanksi
hukum, minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen tidak mustahil
dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai iktikad
baik dalam menjalankan usaha yaitu berprinsip mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan memanfaatkan seefisien mungkin sumber daya yang ada.
Disamping itu, lemahnya posisi konsumen tersebut di sebabkan antara lain perangkat
hukum yang ada belum bisa memberikan rasa aman, peraturan perundang-undangan
yang ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan dan
hak-hak konsumen yang semestinya terlibat penegakan hukum (law enforcement) itu sendiri dirasakan kurang tegas. Disisi lain
cara berpikir sebagai pelaku usaha semata-mata masih bersifat profit oriented dalam konteks jangka
pendek tanpa memperhatikan kepentingan konsumen yang merupakan bagian dari
jaminan berlangsungnya usaha dalam konteks jangka panjang (Azhari, TT,1).
Perlindungan bagi nasabah bank /konsumen dalam
percaturan bisnis dewasa ini adalah hal-hal yang sangat urgen, dengan adanya
perlindungan secara legal atau payung hukum adalah menciptakan
kenyamanan dan kedamaian kepada para pihak yang terkait. selain itu adanya
undang-undang perlindungan konsumen akan semakin memudahkan pemerintah dan
berbagai lembaga terkait untuk melakukan penataan, pembinaan, serta pendidikan kepada konsumen akan dapat
memaksimalkan perannya dalam dunia perdagangan, bisnis, perbankan dan lain
sebagainya. Sebagai konsekuensi terhadap undang-undang adalah adanya sanksi
bagi pelanggarnya, dengan demikian upaya untuk lebih menjadikan seorang
konsumen sebagai bagian yang patut mendapatkan perlindungan benar-benar terwujud
(Syazali
dan Heni Sri Imaniyati. 2000:12)
Secara eksplisit sulit ditemukan ketentuan mengenai perlindungan
nasabah debitur dalam Undang-Undang perbankan Nomor 10 Tahun 1998, sebagaian
besar Pasal-Pasal hanya berkonsentrasi pada aspek kepentingan perlindungan bank
sehingga kedudukan nasabah sangatlah lemah, baik ditinjau dari kontraktual
dengan bank dalam perjanjian kredit misalnya nasabah sangat dilematis,
perjanjian kredit yang biasanya menggunakan standar kontrak, senantiasa
membebani nasabah debitur dengan berbagai macam kewajiban dan tanggung jawab
atas resiko yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung ditujukan kepada
nasabah, yang pada gilirannya memunculkan tanggung jawab minus dari pihak bank.
Tidak terkecuali perbankan syariah yang secara
baik melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 yang selanjutnya diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 13
memberikan daftar ligitimasi kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh bank
secara umum, namun secara khusus untuk bank syariah kegiatan usaha yang dapat
dilaksanakan adalah yang sesuai dengan prinsip syariah .
Aturan-aturan dan isi pasal dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
(UU Bank Syariah) tersebut begitu memberikan harapan segar bagi nasabah, namun
dalam prakteknya kadang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang seharusnya
menjadi dasar operasionalnya, banyak kendala-kendala yang sedikit mengusik
berlangsungnya opersional bank syariah dengan prinsip syariah, seiring dengan
perjanjian yang terjadi pada perbankan secara umum, seperti klausula eksonerasi
dalam perjanjian kredit sering dimanfaatkan bank padahal beban bunga yang
tinggi sudah cukup membebani nasabah jika diperhatikan dengan seksama beban
bank yang tinggi, sebenarnya akan berpengaruh pada faktor psikologis nasabah,
karena bunga yang menimbulkan ketidaktenangan dalam menjalankan usahanya
sehingga akan berimbas pada kegagalan usaha nasabah yang bersangkutan.
B. Bentuk Perlindungan Hukum dari
Peraturan Bank Indonesia
Pada pokoknya Bank Indonesia
mempunyai 3 bidang tugas, yaitu
a
Menetapkan dan melaksanakan kebijkan moneter,
b
Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan
c
Mengatur dan mengawasi bank.
Kewenangan mengatur ini yang kemudian pada bulan januari tahun2004
Bank Indonesia membuat arsitektur perbankan Indonesia, dengan tujuan untuk
memberikan peta perbankan dimasa yang akan datang.
a Arsitektur Perbankan
Indonesia (API)
Menurut Dr. Soedrajat Djiwandono, pengertian Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) adalah kerangka menyeluruh meliputi arah, bentuk dan tatanan
industri perbankan Indonesia dalam jangka lima sampai sepuluh tahun kedepan,
yang berlandaskan pada visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat
dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantun
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.[1]
Enam pilar arsitektur perbankan adalah:
a.
struktur pebankan yang sehat
b.
pengaturan perbankan yang efektif
d.
kualitas manajemen dan opersional perbankan
e.
infrastruktur pendukung
f.
perlindungan konsumen
Dari
enam pilar arsitektur perbankan Indonesia ada satu pilar yang menjadi sorotan
pemakalah yakni pilar keenam tentang perlindungan konsumen. Didalam buku
Hermansyah dinyatakan dengan menggangkat masalah perlindungan konsumen menjadi
salah satu pilar dari arsitektur perbankan di Indonesia, hal ini menunjukan
besarnya komitmen Bank Indonesia dan perbankan untuk menempatkan konsumen jasa
perbankan memiliki posisi yang sejajar dengan bank-bank. Sehingga perbankan
bersama-sama dengan masyarakat akan memiliki agenda yang bertujuan untuk
memperkuat perlindungan konsumen. Agenda tersebut adalah:
1)
menyusun mekanisme pengaduan nasabah
2)
membentuk lembaga mediasi perbankan
3)
meningkatkan transparansi informasi produk
4)
melakukan edukasi prodak-produk dan jasa bank kepada masyarakat.
b
Lembaga penjamin simpanan (LPS)
Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin
simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif
12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada
22 September 2005.
“Setiap
bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi
peserta penjaminan LPS.”
LPS
berfungsi menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga
stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya.
Sejak
tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum
sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga/bagi
hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih
dari Rp 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari hasil likuidasi
bank tersebut.
Tujuan
kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi simpanan
nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per 31 Desember 2006,
rekening bersaldo sama atau kurang dari Rp 100 juta mencakup lebih dari 98%
rekening simpanan.
Sejak
terjadi krisis global pada tahun 2008, Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu
No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang mengubah nilai simpanan yang dijamin
oleh LPS menjadi Rp2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Perpu ini dapat
disesuaikan kembali, apabila krisis global meluas atau mereda.
Adanya
kewajiban bagi bank untuk menjadi anggota LPS sehingga dapat memberi perlindungan
bagi nasabah.
Dalam
upaya dalam menyelamatkan bank gagal, LPS mempunyai kewenangan, antara lain
mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk
RUPS; menguasai, mengelola, dan menjual/ mengalihkan aset bank;
melakukan penyertaan modal sementara (PMS); serta mengalihkan manajemen pada
pihak lain. LPS mempunyai jangka waktu penyelamatan paling lama 4 tahun untuk
bank tidak berdampak sistemik dan 5 tahun untuk bank gagal yang berdampak
sistemik. Selanjutnya, LPS harus menjual seluruh saham bank yang diperoleh dari
penyertaan modal sementara (PMS) secara terbuka dan transparan.
Mengenai
pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya, LPS
memiliki hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan tersebut (hak
subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Pemberian kewenangan dan hak
tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat pemulihan (recovery rate)
bagi LPS, sehingga keberlangsungan program penjaminan simpanan dapat terus
dijaga. [2]
C. Bentuk Perlindungan Konsumen Pada
UUPK
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.Dengan adanya
undang-undang perlindungan konsumen ini, diharapkan nasabah perbankan syariah
mendapatkan hak-haknya, sehingga bank syariah, nasabah dan shohibul mal
tidak dirugikan oleh salah satu pihak.
Hal ini
sangatlah bagus sehingga seorang konsumen akan mempunyai landasan serta payung
hukum untuk melindungi segala kepentingan dalam dunia usaha tidak terkecuali
terhadap nasabah bank syariah, selain itu adanya undang-undang perlindungan
konsumen akan dapat memaksimalkan perannya dalam dunia perbankan. Sebagai
konsekuensinya terhadap undang-undang adalah adanya sanksi bagi pelanggarnya,
dengan demikian supaya untuk lebih menjadikan seorang konsumen/nasabah sebagai
bagian yang patut mendapatkan perlindungan benar-benar terwujud.
Pada
pasal 3 butir b dan d tentang tujuan perlindungan konsumen. Butir b tujuan
perlindungan konsumen adalah mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
Sedangkan butir d berbunyi: menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
Dari
pasal 3 di atas kita bisa melihat bahwasannya tujuan dari perlindungan konsumen
adalah supaya konsumen tidak mendapatkan diskriminasi atau mendapatkan
hak-haknya dari penyedia jasa atau bank syariah.
Peraturan
Hukum jugs memberikan perlindungan bagi nasabah selaku konsumen tidak hanya
melalui UUPK, akan tetapi lebih spesifik lagi pada peraturan perundang-undangan
di bidang perbankan. Karena bank merupakan lembaga keuangan yang melakukan
kegiatan usaha dengan menarik dana langsung dari masyarakat, maka dalam
melaksanakan aktivitasnya bank harus melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan
bank, yaitu prinsip kepercayaan (fiduciary principle), prinsip
kehati-hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (confidential
principle), dan prinsip mengenal nasabah (know your costumer principle).
Kepercayaan
merupakan inti dari perbankan sehingga sebuah bank harus mampu menjaga
kepercayaan dari para nasabahnya. Hukum sebagai alat rekayasa social (Law as
a tool of social engineering) terlihat aktualisasinya di sini. Di tataran
undang-undang maupun PBI terdapat pengaturan dalam rangka untuk menjaga
kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus dapat memberikan
perlindungan hukum bagi nasabah. Yaitu,
untuk memberikan perlindungan hukum khususnya bagi nasabah deposan sebagaima
tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengamanatkan dibentuknya
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana masyarakat
yang disimpan dalam bank yang bersangkutan.[3]
Amanat
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dimaksud telah direalisasikan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan. Adapun yang menjadi fungsi dari lembaga ini adalah menjamin simpanan
nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabiltas sistem perbankan
sesuai dengan kewenangannya.[4]
D. Bentuk Perlindungan Konsemen pada
kemurnian Syariah
Perlindungan berdasarkan undang-undang perbankan syariah. Adapun
perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang no. 21 tahun 2008, tentang
perbankan syariah adalah terdapat pada Pasal 41 cangkupan rahasia bank, yang
berbunyi: bank dan pihak terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai
nasabah penyimpanan dan simpanan serta nasabah investor dan investasinya.
Jadi perlidungan hukum pada undang-undang no 21 tahun 2008 pasal
hanyalah bersifat tentang data nasabah
pemilik dana (shohibul mal).[5]
[1]
Hermansyah, Hukum Perbankan
Nasional Indonesia, edisi 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2006),
hal. 178.
[3]
Pasal 37 B ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
0 komentar:
Post a Comment